Kunci dari penjelasan ekologi Marx terletak pada elaborasi atas ide
mengenai hubungan antara alam dengan manusia. Bagi Marx, relasi ini
berproses layaknya metabolisme dimana kerja manusia menjadi mediasi
utamanya. Dalam bukunya, Capital, melalui kerja, manusia berupaya
untuk mengelola metabolisme antara dirinya dan alam. Akan tetapi
dikarenakan relasi produksi serta pemisahan desa-kota yang antagonistik,
proses metabolistik ini menciptakan apa yang disebutnya sebagai
‘keretakan yang tidak dapat diperbaiki’ (hal. 141). Dalam kerangka
‘keretakan metabolisme’ atas alam dan manusia inilah posisi ekologi Marx
dibangun.
Penjelasan Marx mengenai ‘keretakan metabolisme’ ini dimulai dengan kritiknya terhadap teori populasi-lebihnya (overpopulation)
Thomas Malthus. Teori Malthus, bagi Marx, sangat problematik dari dua
sisi. Sisi pertama, teori itu tidak lebih sebagai ekspresi brutal dari
kepentingan modal. Namun lebih dari pada itu, Mathus menganggap masalah
populasi-lebih terjadi di semua epos masyarakat. Walau Marx mengakui
keberadaan fenomena populasi-lebih dalam masyarakat-masyarakat
sebelumnya, akan tetapi Marx mempertanyakan penolakan Malthus untuk
melihat perbedaan spesifik yang ia anggap ada dalam formasi sosial yang
berbeda yang terjadi di tiap fase berbeda perkembangan sejarah. Dalam
hal ini, Marx menekankan pentingnya memperhatikan perbedaan modus
produksi sosial yang mendeterminasi perkembangan masyarakat yang
kemudian mengondisikan fenomena populasi-lebih (hal. 143).
Konsekuensi dari pentingnya melihat perkembangan historis, membuat
Marx harus melakukan pembongkaran atas rasio aritmatik yang menjadi
pembenaran bagi keterbatasan sumber daya alam untuk menopang pertumbuhan
jumlah populasi. Dalam hal ini, Marx kemudian mengarahkan pertanyaannya
pada problem sumber daya alam yang pada saat itu banyak dielaborasi
oleh tradisi ekonomi klasik melalui teori sewa tanah. Pada titik ini,
gagasan ekonom klasik seperti David Ricardo, masuk ke dalam diskusi
teoritis Marx tentang ekologi karena kontribusinya terhadap perkembangan
teori sewa tanah pada saat itu. Marx dan Ricardo sejalan ketika melihat
kesalahkaprahan Malthus, dimana bukan jumlah benih yang menyebabkan
terjadinya kelebihan populasi, akan tetapi tingkat pengangguran. Namun
Marx mencatat poin dimana, menurutnya, teori sewa tanah Ricardo sama
dengan teori Malthus, karena keduanya sama-sama tidak memberikan
perhatian teoritis yang cukup pada dimensi perkembangan historis.
Dari situ Marx kemudian mengalihkan pandangannya pada penjelasan
James Anderson mengenai teori sewa tanah, yang menurutnya lebih superior
dibandingkan Ricardo dan Malthus. Sewa, menurut Anderson, dikenakan
untuk penggunaan tanah yang lebih subur. Kurangnya kesuburan tanah pada
saat penanaman hanya cukup untuk menutupi biaya produksi, sementara
tanah yang lebih subur menciptakan sewa tanah yang lebih besar.
Perbedaan mendasar Anderson dibanding ekonom klasik sebelumnya adalah ia
berpendapat bahwa tingkat kesuburan tanah ditentukan oleh perubahan
historis seperti perkembangan teknologi dan cara produksi. Anderson
menambahkan, kegagalan untuk mendorong peningkatan kesuburan tanah lebih
banyak disebabkan oleh kegagalan untuk mengadopsi praktik agrikultur
yang rasional dan berkelanjutan (hal. 145). Penjelasan Anderson ini
memperkuat posisi Marx, sekaligus mengakhiri tendensi ekonomi politik
abad 18 dimana tanah masih dilihat sebagai hal yang terpisah dari
historisitas perkembangan masyarakat.
Namun, Marx mendapat petunjuk teoritis lebih lanjut mengenai masalah
ekologis dalam kapitalisme ketika ia mempelajari studi Justus von
Liebieg mengenai komposisi tanah. Menurut Liebieg, pengetahuan
agrikultur sebelum 1840an cenderung menekankan pada peranan ternak dan
‘kekuatan laten’ tanah semenjak properti kimia dalam tanah belum
diketahui pada saat itu, yang membuat kondisi nutrisi tanaman juga belum
diketahui. Tidak heran, pada saat itu, kekuatan laten yang terkandung
dalam tanah selalu dilihat sebagai sesuatu yang terbatas dan dalam
waktu yang bersamaan tidak dapat dirusak. Dalam hal ini, pengetahuan
kimia yang dikembangkan oleh Liebieg mampu untuk mengatasi keterbatasan
yang ada pada saat itu. Kajian Liebieg mendorong penggunaan intervensi
manusia yang lebih besar (melalui teknik kimia, tentu saja) pada tanah,
sekaligus membuka kemungkinan yang luas untuk terjadinya revolusi
pertanian.
Implikasi dari kajian Liebieg tentang penggunaan kimia pada tanah
adalah terbukanya potensi yang luas bagi terjadinya degradasi tanah.
Konsep ‘keretakan metabolisme’ yang diajukan Marx menjadi relevan di
sini, karena kapitalisme dalam rangka menciptakan maksimalisasi
keuntungan akan menggunakan teknik kimia sebesar-besarnya untuk
mendorong tingkat kesuburan yang diharapkan. Atas nama keuntungan, tanah
harus dieksploitasi melalui bahan-bahan kimia yang berimplikasi pada
penurunan kualitas tanah itu sendiri. Dalam hal ini, keretakan
metabolisme dapat dipahami secara literal sebagai intervensi berlebih
manusia pada alam sehingga mengakibatkan hubungan antara alam dengan
manusia mengalami keretakan yang mengganggu proses relasi metabolistik
antara keduanya. Pada tahun 1852, Marx menulis, ‘tanah menjadi komoditas
yang dapat diperdagangkan, dan eksploitasi tanah dilakukan berdasar
pada hukum komersial yang berlaku…’ (hal. 156). Secara spesifik Marx
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hubungan antagonistik antara
desa dengan kota, dimana tanah-tanah subur di pedesaan ‘dirampok’ dalam
rangka mendukung industrialisasi.
Bagi Foster, konsep metabolisme adalah kunci bagi penjelasan mengenai
ekologi Marx. Metabolisme dipahami langsung sebagai elemen dalam
gagasan ‘pertukaran material’ yang mendasari proses terstruktur
pertumbuhan dan pembusukan secara biologis. Metabolisme digunakan
sebagai cara untuk mendeskripsikan relasi manusia dengan alam melalui
kerja. Dalam gagasan yang lebih luas, yang secara khususnya dijelaskan
dalam Grundrisse, metabolisme yang dimaksud memiliki arti
ekologis sekaligus sosial, dimana metabolisme manusia dengan alam yang
rumit, kompleks serta saling terhubung dieskpresikan melalui organisasi
konkrit kerja manusia dalam kaptialisme yang secara terus-menerus
teralienasi. Dalam Manuskrip Ekonomi dan Filsafat tahun 1844, Marx menulis, ‘manusia
hidup dalam alam atau alam adalah tubuhnya, dan ia harus mempertahankan
dialog dengan alam jika manusia tidak ingin mati. Untuk mengatakan
bahwa secara kehidupan fisik dan mental manusia terhubungkan dengan alam
sama seperti mengatakan alam terhubung dengan dirinya sendiri, dimana
manusia adalah bagian dari alam’ (hal. 158).
Akan tetapi penjelasan Marx ini tidak dapat dipahami sebagai suatu
ekspresi romantik Marx tentang alam dan juga ekologi. Posisi Marx
tentang metabolisme justru ekspresi atas gagasan alienasi terhadap alam
yang berhubungan erat dengan alienasi atas kerja. Menurut Tim Hayward
yang dikutip oleh Foster, gagasan metabolisme sosio-ekologis Marx
menangkap aspek fundamental keberadaan manusia sebagai makhluk alam
sekaligus sosial, dimana metabolisme diatur dari dari sisi alam melalui
hukum alam yang melingkupi berbagai proses fisik, dan dari sisi
masyarakat melalui insititusionalisasi norma yang mengatur pembagian
kerja dan distribusi kekayaan (hal. 159).
Komponen yang esensial dari
konsep metabolisme adalah adanya gagasan bahwa relasi ini adalah dasar
yang membuat jaring interaksi kehidupan yang kompleks dapat berlanjut
dan pertumbuhan menjadi mungkin. Dengan adanya ‘keretakan metabolisme’
keseluruhan dasar itu menjadi terancam eksistensinya dan selanjutnya
kemudian mengancam kehidupan manusia secara lebih luas. Dari sini ide
tentang ketidakberlanjutan kapitalisme mengemuka, karena relasi
metabolistik manusia dan alam akan selalu berhadapan secara antagonistik
akibat kepentingan kapitalisme untuk memaksimalisasi keuntungan.
Cari Blog Ini
Translate
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar