Minggu, 29 Maret 2015

Ekologi melalui metabolisme manusia dan alam

Kunci dari penjelasan ekologi Marx terletak pada elaborasi atas ide mengenai hubungan antara alam dengan manusia. Bagi Marx, relasi ini berproses layaknya metabolisme dimana kerja manusia menjadi mediasi utamanya. Dalam bukunya, Capital, melalui kerja, manusia berupaya untuk mengelola metabolisme antara dirinya dan alam. Akan tetapi dikarenakan relasi produksi serta pemisahan desa-kota yang antagonistik, proses metabolistik ini menciptakan apa yang disebutnya sebagai ‘keretakan yang tidak dapat diperbaiki’ (hal. 141). Dalam kerangka ‘keretakan metabolisme’ atas alam dan manusia inilah posisi ekologi Marx dibangun.

Penjelasan Marx mengenai ‘keretakan metabolisme’ ini dimulai dengan kritiknya terhadap teori populasi-lebihnya (overpopulation) Thomas Malthus. Teori Malthus, bagi Marx, sangat problematik dari dua sisi. Sisi pertama,  teori itu  tidak lebih sebagai ekspresi brutal dari kepentingan modal. Namun lebih dari pada itu, Mathus menganggap masalah populasi-lebih terjadi di semua epos masyarakat. Walau Marx mengakui keberadaan fenomena populasi-lebih dalam masyarakat-masyarakat sebelumnya, akan tetapi Marx mempertanyakan penolakan Malthus untuk melihat perbedaan spesifik yang ia anggap ada dalam formasi sosial yang berbeda yang terjadi di tiap fase berbeda perkembangan sejarah. Dalam hal ini, Marx menekankan pentingnya memperhatikan perbedaan modus produksi sosial yang  mendeterminasi perkembangan masyarakat yang kemudian mengondisikan fenomena populasi-lebih (hal. 143).
Konsekuensi dari pentingnya melihat perkembangan historis, membuat Marx harus melakukan pembongkaran atas rasio aritmatik yang menjadi pembenaran bagi keterbatasan sumber daya alam untuk menopang pertumbuhan jumlah populasi. Dalam hal ini, Marx kemudian mengarahkan pertanyaannya pada problem sumber daya alam yang pada saat itu banyak dielaborasi oleh tradisi ekonomi klasik melalui teori sewa tanah. Pada titik ini, gagasan ekonom klasik seperti David Ricardo, masuk ke dalam diskusi teoritis Marx tentang ekologi karena kontribusinya terhadap perkembangan teori sewa tanah pada saat itu. Marx dan Ricardo sejalan ketika melihat kesalahkaprahan Malthus, dimana bukan jumlah benih yang menyebabkan terjadinya kelebihan populasi, akan tetapi tingkat pengangguran. Namun Marx mencatat poin dimana, menurutnya, teori sewa tanah Ricardo sama dengan teori Malthus, karena keduanya sama-sama tidak memberikan perhatian teoritis yang cukup pada dimensi perkembangan historis.

Dari situ Marx kemudian mengalihkan pandangannya pada penjelasan James Anderson mengenai teori sewa tanah, yang menurutnya lebih superior dibandingkan Ricardo dan Malthus. Sewa, menurut Anderson, dikenakan untuk penggunaan tanah yang lebih subur. Kurangnya kesuburan tanah pada saat penanaman hanya cukup untuk menutupi biaya produksi, sementara tanah yang lebih subur menciptakan sewa tanah yang lebih besar. Perbedaan mendasar Anderson dibanding ekonom klasik sebelumnya adalah ia berpendapat bahwa tingkat kesuburan tanah ditentukan oleh perubahan historis seperti perkembangan teknologi dan cara produksi. Anderson menambahkan, kegagalan untuk mendorong peningkatan kesuburan tanah lebih banyak disebabkan oleh kegagalan untuk mengadopsi praktik agrikultur yang rasional dan berkelanjutan (hal. 145). Penjelasan Anderson ini memperkuat posisi Marx, sekaligus mengakhiri tendensi ekonomi politik abad 18 dimana tanah masih dilihat sebagai hal yang terpisah dari historisitas perkembangan masyarakat.
Namun, Marx mendapat petunjuk teoritis lebih lanjut mengenai masalah ekologis dalam kapitalisme ketika ia mempelajari studi Justus von Liebieg mengenai komposisi tanah.  Menurut Liebieg, pengetahuan agrikultur sebelum 1840an cenderung menekankan pada  peranan ternak dan ‘kekuatan laten’ tanah semenjak properti kimia dalam tanah belum diketahui pada saat itu, yang membuat kondisi nutrisi tanaman juga belum diketahui. Tidak heran, pada saat itu, kekuatan laten yang terkandung dalam tanah selalu dilihat sebagai sesuatu yang  terbatas dan dalam waktu yang bersamaan tidak dapat dirusak.  Dalam hal ini, pengetahuan kimia yang dikembangkan oleh Liebieg mampu untuk mengatasi keterbatasan yang ada pada saat itu. Kajian Liebieg mendorong penggunaan intervensi manusia yang lebih besar (melalui teknik kimia, tentu saja) pada tanah, sekaligus membuka kemungkinan yang luas untuk terjadinya revolusi pertanian.

Implikasi dari kajian Liebieg tentang penggunaan kimia pada tanah adalah terbukanya potensi yang luas bagi terjadinya degradasi tanah. Konsep ‘keretakan metabolisme’ yang diajukan Marx menjadi relevan di sini, karena kapitalisme dalam rangka menciptakan maksimalisasi keuntungan akan menggunakan teknik kimia sebesar-besarnya untuk mendorong tingkat kesuburan yang diharapkan. Atas nama keuntungan, tanah harus dieksploitasi melalui bahan-bahan kimia yang berimplikasi pada penurunan kualitas tanah itu sendiri. Dalam hal  ini, keretakan metabolisme dapat dipahami secara literal sebagai intervensi berlebih manusia pada alam sehingga mengakibatkan hubungan antara alam dengan manusia mengalami keretakan yang mengganggu proses relasi metabolistik antara keduanya. Pada tahun 1852, Marx menulis, ‘tanah menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan, dan eksploitasi tanah dilakukan berdasar pada hukum komersial yang berlaku…’ (hal. 156). Secara spesifik Marx memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hubungan antagonistik antara desa dengan kota, dimana tanah-tanah subur di pedesaan ‘dirampok’ dalam rangka mendukung industrialisasi.
Bagi Foster, konsep metabolisme adalah kunci bagi penjelasan mengenai ekologi Marx. Metabolisme dipahami langsung sebagai elemen dalam gagasan ‘pertukaran material’ yang mendasari proses terstruktur pertumbuhan dan pembusukan secara biologis.  Metabolisme digunakan sebagai cara untuk mendeskripsikan relasi manusia dengan alam melalui kerja. Dalam gagasan yang lebih luas, yang secara khususnya dijelaskan dalam Grundrisse, metabolisme yang dimaksud memiliki arti ekologis sekaligus sosial, dimana metabolisme manusia dengan alam yang rumit, kompleks serta saling terhubung dieskpresikan melalui organisasi konkrit kerja manusia dalam kaptialisme yang secara terus-menerus teralienasi. Dalam Manuskrip Ekonomi dan Filsafat tahun 1844, Marx menulis, ‘manusia hidup dalam alam atau alam adalah tubuhnya, dan ia harus mempertahankan dialog dengan alam jika manusia tidak ingin mati. Untuk mengatakan bahwa secara kehidupan fisik dan mental manusia terhubungkan dengan alam sama seperti mengatakan alam terhubung dengan dirinya sendiri, dimana manusia adalah bagian dari alam’ (hal. 158).

Akan tetapi penjelasan Marx ini tidak dapat dipahami sebagai suatu ekspresi romantik Marx tentang alam dan juga ekologi. Posisi Marx tentang metabolisme justru ekspresi atas gagasan alienasi terhadap alam yang berhubungan erat dengan alienasi atas kerja. Menurut Tim Hayward yang dikutip oleh Foster, gagasan metabolisme sosio-ekologis Marx menangkap aspek fundamental keberadaan manusia sebagai makhluk alam sekaligus sosial, dimana metabolisme diatur dari dari sisi alam melalui hukum alam yang melingkupi berbagai proses fisik, dan dari sisi masyarakat melalui insititusionalisasi norma yang mengatur pembagian kerja dan distribusi kekayaan (hal. 159).

Komponen yang esensial dari konsep metabolisme adalah adanya gagasan bahwa relasi ini adalah dasar yang membuat jaring interaksi kehidupan yang kompleks dapat berlanjut dan pertumbuhan menjadi mungkin. Dengan adanya ‘keretakan metabolisme’ keseluruhan dasar itu menjadi terancam eksistensinya dan selanjutnya kemudian mengancam kehidupan manusia secara lebih luas. Dari sini ide tentang ketidakberlanjutan kapitalisme mengemuka, karena relasi metabolistik manusia dan alam akan selalu berhadapan secara antagonistik akibat kepentingan kapitalisme untuk memaksimalisasi keuntungan.

0 komentar:

Posting Komentar