Sebelum tahun 1965,
ada dua kelompok besar yang bertentangan dalam menilai sastra/kebudayaan/kesenian di Indonesia.
Yaitu ada LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang mengusung Seni untuk Rakyat, Politik
sebagai Panglima dan Realisme Sosialis yang selalu membumikan budaya kritis dan
budaya perlawanan terhadap kekuasaan sang Tiran. Kelompok yang kedua adalah dia
yang menamakan diri sebagai Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Para kaum
Manikebuis ini selalu mengusung Seni untuk Seni dan Humanisme Universal. Yang
oleh Pramoedya Ananta Toer—tokoh Realisme Sosialis Indonesia—mengatakan bahwa
pertarungan antara dua kubu itu diistilahkan sebagai “perang babad Lekra” yang
berlangsung tahun 1959 – 1965. Artinya adalah, perseteruan dari dua kubu
tersebut sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan sastra Indonesia.
Antara kedua kubu tersebut, dengan sendirinya telah memberikan idiom-idiom
penting yang sering kali dijadikan patokan ideologis dan garis politik individu
atau suatu organisasi dalan berkesenian. “Perang” yang tidak adil ini memang
dimenangkan oleh kubu Manikebu.
Dalam
Mukaddimah-nya sendiri, Lekra tak secara spesifik menyebut istilah realisme
sosialis. Namun, indikasi itu bukannya tidak ada. Lihatlah rumusan-rumusan yang
dicuplik dari Mukaddimah tersebut: “Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya
pencipta kebudayaan…”, “Lekra membantah pendapat kesenian dan ilmu bisa
terlepas dari masyarakat”, atau “Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami
pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat mana pun di dalam
hati manusia…”.
Seni
yang dilihat dari sudut pandang pengertian bentuk tanpa isi merupakan seni yang
secara terang-terangan ditolak oleh seniman-seniman Lekra. “Politik sebagai
panglima” ditempatkan sebagai sebuah standar bagi penilaian terhadap karya
seni. Karena itu, seniman tidak menempatkan diri sebagai pengabdi (melulu)
artistik. Kemerdekaan tidak diartikan sebagai keleluasan beriseng sendiri hanya
dalam lingkaran kesenian, tanpa menyadari fungsi seni sebagai alat revolusi.
Seniman tidak boleh menjadi semacam menara gading kaum elitis, dan sebaliknya
ia harus selalu berbaur dengan rakyat. Para pelukis, misalnya, harus
menyempatkan diri berada di tengah-tengah petani untuk bisa melukiskan
penderitaan mereka yang melarat itu, karena anatomi petani berbeda dengan
anatomi orang-orang kota. Kegiatan kreasi seni—dengan kacamata seperti
itu—akhirnya senantiasa diverifikasi apakah ia sejalan dengan motif perjuangan
kelas atau tidak. Suatu motif yang kemudian dikenal sebagai gerakan “turba”
atau turun ke bawah.
Pramoedya
sendiri memahami gerakan turun ke bawah tidak dalam makna yang sesempit itu.
Bagi Pramoedya, turun ke bawah adalah ibarat kembali ke dunia desa. Lebih jauh
lagi, kembali ke dunia cikal-bakal desa. Bukan turun ke bawah, melainkan turun
ke sejarah. Ke dasar. Inilah yang kemudian membentuknya untuk yakin betapa
pentingnya sejarah bagi perkembangan manusia, di mana seni yang terlibat di
dalamnya juga tidak bisa lepas dari peran penting sejarah.
Seperti
awal kelahirannya, masuknya realisme sosialis ke Indonesia tidak pernah
diketahui secara pasti kapan pula waktunya. Namun yang jelas, kemunculannya
bisa dianggap sangat erat kaitannya dengan keberadaan Lekra dan Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Sekitar
tahun 1950-an, beberapa seniman kiri menemui Nyoto untuk menyatakan peranan
seni dalam perjuangan kelas. Nyoto sendiri dalam pidato sambutan pendirian
Lekra yang berjudul Revolusi adalah Api Kembang menyatakan bahwa hanya ada dua
pertentangan antara dua asas besar, yakni kebudayaan rakyat dan kebudayaan
bukan rakyat, dan tak ada jalan ketiga. Dan baginya, tak mungkin kebudayaan
rakyat bisa berkibar tanpa merobek kebudayaan bukan rakyat.
Jauh
sebelumnya, S Soedjojono, yang sering kali dianggap sebagai “Bapak Seni Rupa
Modern Indonesia” (ia pun kelak dikenal sebagai aktivis Lekra) mengatakan,
“Maka itu para pelukis baru akan tidak lagi hanya melukis gubuk yang damai,
gunung-gunung membiru, hal-hal yang romantis atau indah dan manis-manis, tetapi
juga akan melukis pabrik gula dan petani yang kurus kerempeng, mobil mereka
yang kaya-kaya dan celana pemuda miskin; sandal-sandal, pantalon dan jaket
orang di jalanan.”
Setelah kemerdekaan, begitu pimpinan-pimpinan revolusinya—Soekarno,
Hatta—tidak serevolusioner Rakyat, kalangan seniman maju mulai resah. Apalagi,
akibat dari perundingan yang satu dengan yang lain, wilayah Indonesia semakin
menyempit karena harus diserahkan kepada Belanda. Ditambah lagi, tentara
Belanda yang melakukan agresi militer I dan II. Semua ini, dirasakan oleh
kalangan seniman, bahwa revolusi masih terus terancam. Surat Kepercayaan
Gelanggang yang ditandatangani di Jakarta tanggal 18 Februari 1950, menyatakan:
"Revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai". Berawal dari
sini, kemudian lahirlah LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), pada tanggal 17
Agustus 1950.
LEKRA, sejatinya adalah front kebudayaan. Ia dibangun dari berjamurnya
kesenian rakyat: ketoprak, karawitan, tari, wayang juga dalam bentuk
sanggar-sanggar. Pendukung Lekra juga banyak berasal dari tokoh-tokoh
masyarakat atau bahkan group kesenian lain seperti Ludruk Marhaen. Di bawah
payung Lekra, dikembangkan kerja sama dengan organisasi lain seperti serikat
tani, pemuda, perempuan, buruh dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).
Sebagai organisasi kebudayaan, LEKRA, terus meluaskan struktur organisasinya.
Terbentuklah badan nasional untuk pemain ketoprak, Sarbufis (Sarekat Buruh Film
Indonesia) dan lain-lain. Dengan modal ini, kemudian dikembangkan juga
aksi-aksi front kongkret seperti AMPAI untuk menolak dominasi film imperialis
Amerika Serikat. Pendirian Lekra juga mendorong semangat Integrasi seniman
dengan rakyat melalui kerja Tiga S di tahun 1960-an. Dari sini, Pram
menghasilkan Sekali Peristiwa di Banten Selatan.
LEKRA, sejatinya adalah front kebudayaan.
Ia dibangun dari berjamurnya kesenian rakyat: ketoprak, karawitan, tari, wayang
juga dalam bentuk sanggar-sanggar. Pendukung Lekra juga banyak berasal dari
tokoh-tokoh masyarakat atau bahkan group kesenian lain seperti Ludruk Marhaen.
Di bawah payung Lekra, dikembangkan kerja sama dengan organisasi lain seperti
serikat tani, pemuda, perempuan, buruh dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
(BMKN). Sebagai organisasi kebudayaan, LEKRA, terus meluaskan struktur
organisasinya. Terbentuklah badan nasional untuk pemain ketoprak, Sarbufis
(Sarekat Buruh Film Indonesia) dan lain-lain. Dengan modal ini, kemudian
dikembangkan juga aksi-aksi front kongkret seperti AMPAI untuk menolak dominasi
film imperialis Amerika Serikat. Pendirian Lekra juga mendorong semangat
Integrasi seniman dengan rakyat melalui kerja Tiga S di tahun 1960-an. Dari
sini, Pram menghasilkan Sekali Peristiwa di Banten Selatan.
0 komentar:
Posting Komentar