Minggu, 22 Februari 2015

estetika



Sebelum tahun 1965, ada dua kelompok besar yang bertentangan dalam menilai  sastra/kebudayaan/kesenian di Indonesia. Yaitu ada LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang mengusung Seni untuk Rakyat, Politik sebagai Panglima dan Realisme Sosialis yang selalu membumikan budaya kritis dan budaya perlawanan terhadap kekuasaan sang Tiran. Kelompok yang kedua adalah dia yang menamakan diri sebagai Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Para kaum Manikebuis ini selalu mengusung Seni untuk Seni dan Humanisme Universal. Yang oleh Pramoedya Ananta Toer—tokoh Realisme Sosialis Indonesia—mengatakan bahwa pertarungan antara dua kubu itu diistilahkan sebagai “perang babad Lekra” yang berlangsung tahun 1959 – 1965. Artinya adalah, perseteruan dari dua kubu tersebut sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan sastra Indonesia. Antara kedua kubu tersebut, dengan sendirinya telah memberikan idiom-idiom penting yang sering kali dijadikan patokan ideologis dan garis politik individu atau suatu organisasi dalan berkesenian. “Perang” yang tidak adil ini memang dimenangkan oleh kubu Manikebu.

Dalam Mukaddimah-nya sendiri, Lekra tak secara spesifik menyebut istilah realisme sosialis. Namun, indikasi itu bukannya tidak ada. Lihatlah rumusan-rumusan yang dicuplik dari Mukaddimah tersebut: “Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan…”, “Lekra membantah pendapat kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat”, atau “Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat mana pun di dalam hati manusia…”.

Seni yang dilihat dari sudut pandang pengertian bentuk tanpa isi merupakan seni yang secara terang-terangan ditolak oleh seniman-seniman Lekra. “Politik sebagai panglima” ditempatkan sebagai sebuah standar bagi penilaian terhadap karya seni. Karena itu, seniman tidak menempatkan diri sebagai pengabdi (melulu) artistik. Kemerdekaan tidak diartikan sebagai keleluasan beriseng sendiri hanya dalam lingkaran kesenian, tanpa menyadari fungsi seni sebagai alat revolusi. Seniman tidak boleh menjadi semacam menara gading kaum elitis, dan sebaliknya ia harus selalu berbaur dengan rakyat. Para pelukis, misalnya, harus menyempatkan diri berada di tengah-tengah petani untuk bisa melukiskan penderitaan mereka yang melarat itu, karena anatomi petani berbeda dengan anatomi orang-orang kota. Kegiatan kreasi seni—dengan kacamata seperti itu—akhirnya senantiasa diverifikasi apakah ia sejalan dengan motif perjuangan kelas atau tidak. Suatu motif yang kemudian dikenal sebagai gerakan “turba” atau turun ke bawah.

Pramoedya sendiri memahami gerakan turun ke bawah tidak dalam makna yang sesempit itu. Bagi Pramoedya, turun ke bawah adalah ibarat kembali ke dunia desa. Lebih jauh lagi, kembali ke dunia cikal-bakal desa. Bukan turun ke bawah, melainkan turun ke sejarah. Ke dasar. Inilah yang kemudian membentuknya untuk yakin betapa pentingnya sejarah bagi perkembangan manusia, di mana seni yang terlibat di dalamnya juga tidak bisa lepas dari peran penting sejarah.
Seperti awal kelahirannya, masuknya realisme sosialis ke Indonesia tidak pernah diketahui secara pasti kapan pula waktunya. Namun yang jelas, kemunculannya bisa dianggap sangat erat kaitannya dengan keberadaan Lekra dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sekitar tahun 1950-an, beberapa seniman kiri menemui Nyoto untuk menyatakan peranan seni dalam perjuangan kelas. Nyoto sendiri dalam pidato sambutan pendirian Lekra yang berjudul Revolusi adalah Api Kembang menyatakan bahwa hanya ada dua pertentangan antara dua asas besar, yakni kebudayaan rakyat dan kebudayaan bukan rakyat, dan tak ada jalan ketiga. Dan baginya, tak mungkin kebudayaan rakyat bisa berkibar tanpa merobek kebudayaan bukan rakyat.

Jauh sebelumnya, S Soedjojono, yang sering kali dianggap sebagai “Bapak Seni Rupa Modern Indonesia” (ia pun kelak dikenal sebagai aktivis Lekra) mengatakan, “Maka itu para pelukis baru akan tidak lagi hanya melukis gubuk yang damai, gunung-gunung membiru, hal-hal yang romantis atau indah dan manis-manis, tetapi juga akan melukis pabrik gula dan petani yang kurus kerempeng, mobil mereka yang kaya-kaya dan celana pemuda miskin; sandal-sandal, pantalon dan jaket orang di jalanan.”


Setelah kemerdekaan, begitu pimpinan-pimpinan revolusinya—Soekarno, Hatta—tidak serevolusioner Rakyat, kalangan seniman maju mulai resah. Apalagi, akibat dari perundingan yang satu dengan yang lain, wilayah Indonesia semakin menyempit karena harus diserahkan kepada Belanda. Ditambah lagi, tentara Belanda yang melakukan agresi militer I dan II. Semua ini, dirasakan oleh kalangan seniman, bahwa revolusi masih terus terancam. Surat Kepercayaan Gelanggang yang ditandatangani di Jakarta tanggal 18 Februari 1950, menyatakan: "Revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai". Berawal dari sini, kemudian lahirlah LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), pada tanggal 17 Agustus 1950.
LEKRA, sejatinya adalah front kebudayaan. Ia dibangun dari berjamurnya kesenian rakyat: ketoprak, karawitan, tari, wayang juga dalam bentuk sanggar-sanggar. Pendukung Lekra juga banyak berasal dari tokoh-tokoh masyarakat atau bahkan group kesenian lain seperti Ludruk Marhaen. Di bawah payung Lekra, dikembangkan kerja sama dengan organisasi lain seperti serikat tani, pemuda, perempuan, buruh dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Sebagai organisasi kebudayaan, LEKRA, terus meluaskan struktur organisasinya. Terbentuklah badan nasional untuk pemain ketoprak, Sarbufis (Sarekat Buruh Film Indonesia) dan lain-lain. Dengan modal ini, kemudian dikembangkan juga aksi-aksi front kongkret seperti AMPAI untuk menolak dominasi film imperialis Amerika Serikat. Pendirian Lekra juga mendorong semangat Integrasi seniman dengan rakyat melalui kerja Tiga S di tahun 1960-an. Dari sini, Pram menghasilkan Sekali Peristiwa di Banten Selatan.
LEKRA, sejatinya adalah front kebudayaan. Ia dibangun dari berjamurnya kesenian rakyat: ketoprak, karawitan, tari, wayang juga dalam bentuk sanggar-sanggar. Pendukung Lekra juga banyak berasal dari tokoh-tokoh masyarakat atau bahkan group kesenian lain seperti Ludruk Marhaen. Di bawah payung Lekra, dikembangkan kerja sama dengan organisasi lain seperti serikat tani, pemuda, perempuan, buruh dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Sebagai organisasi kebudayaan, LEKRA, terus meluaskan struktur organisasinya. Terbentuklah badan nasional untuk pemain ketoprak, Sarbufis (Sarekat Buruh Film Indonesia) dan lain-lain. Dengan modal ini, kemudian dikembangkan juga aksi-aksi front kongkret seperti AMPAI untuk menolak dominasi film imperialis Amerika Serikat. Pendirian Lekra juga mendorong semangat Integrasi seniman dengan rakyat melalui kerja Tiga S di tahun 1960-an. Dari sini, Pram menghasilkan Sekali Peristiwa di Banten Selatan.

0 komentar:

Posting Komentar