Minggu, 22 Februari 2015

Penghijauan; Harapan atau Bencana?



Tak seperti biasa, kali ini wajah muram bercampur khawatir tergambar di wajahnya, Madiki Higinik (64) sesekali nada perlawanan keluar dari mulutnya. “Demi leluhur, saya tidak pernah mengambil sepersenpun uang dari orang yang ingin mengambil hutan adat Suku Tobelo Dalam,” Kata Madiki, Ketua Adat Suku Tobelo Dalam Hoana Dodaga.
Madiki bercerita, ada program penghijauan yang masuk di wilayah hutan adat Suku Tobelo Dalam Hoana Dodaga, di Dusun Tukur-Tukur hingga terjadi pro-kontra antar warga sebab, program tersebut masuk dalam kebun milik Suku Tobelo Dalam Hoana Dodaga dan memasukkan perusahan pohon karet. Bahkan, ada pihak lain yang menyebarkan isu untuk menjatuhkan nama baik Kepala Suku.
“Ada orang-orang tertentu yang ingin membuat konflik antar suku Tobelo Dalam-menyebarkan isu bahwa, saya terima uang dari perusahan yang bekerja sama dengan Dinas Kehutanan untuk mereka mengambil Tanah Adat,” Suara Madiki terbatah-batah, matanya berkaca-kaca saat menjelaskan kejadian tersebut, di rumah papan sederhana miliknya, di Desa Dodaga, Kecamatan Wasilei Timur, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara.
Dalam program tersebut, Dinas Kehutanan melibatkan 42 warga terdiri dari 24 warga trans Subaim dan 18 orang Suku Tobelo Dalam Hoana Dodaga yang dalam hal ini memiliki kebun di hutan adat tersebut. tahapan awal, pada Februari ini, pihak Dinas Kehutanan telah mengkapling 150 hektar tanah adat dan kebun Suku Tobelo Dalam untuk menjalankan program tersebut.
“Suku Tobelo Dalam yang dilibatkan, diberi upah Rp.250.000 untuk melepaskan kebun mereka. Selain itu, tahap selanjutnya, Dinas kehutanan akan mengkapling lahan dengan skala yang lebih besar untuk program tersebut yang katanya sudah dimiliki perusahaan berlabel PT.Antam,” kata Arnol (38).
Tanganiki (45), Warga Suku Tobelo Dalam yang kebunnya dialihfungsikan, sempat melakukan perlawanan dengan cara mencegah Dinas Kehutanan dan beberapa warga trans yang mengambil lahan kebunnya untuk ditanami bibit pohon pala. “Saya heran, ini pemerintah kenapa buat program ini lalu mengambil kebun saya begitu saja,” kata Tanganiki.
Tidak hanya Tanganiki, beberapa warga bernasip serupa, “Kebun saya diambil semua, saya melihat, orang-orang yang bawa bibit itu, tanam plang dan ada nama PT Antam,” kata Andi dengan nada kecewa. Beberapa warga yang melakukan penolakan tersebut pun diancam dengan cara menakut-nakuti. “kata orang Dinas Kehutanan, jika kita tidak mau program ini masuk maka kita, Suku Tobelo Dalam akan berhadapan dengan Kepolisian dan TNI yang akan turun tangan,” kata Donah (28) salah satu warga Tobelo Dalam yang hidup di Tukur-Tukur.
Anak Tiri di Negeri Sendiri
Suku Tobelo Dalam Hoana Dodaga telah lama menjadi anak tiri di tanahnya sendiri, dari Aspek kebijakan pembangunan jelas terlihat, lahan pasar hingga lahan tanaman lebih didominasi warga trans sedangkan warga asli tinggal di daerah pinggiran. “hal ini jelas terlihat, masyarkat Asli tinggal di daerah yang cukup terbelakang, dan lahan pertanian semakin sempit,” kata ketua Pengurus Wilayah AMAN Malut Munadi Kilkoda.
Program “Rumah Kumuh” (Istilah pemerintah setempat) untuk mengeluarkan Suku Tobelo Dalam dari hutan pun banyak mengalami salah sasan karena hanya memprioritaskan pada aspek bangunan rumah tanpa mempertimbangan unsur lain. bahkan, setelah dikeluarkan Suku Tobelo Dalam dari hutan, mereka pun dilarang masuk kembali untuk berburu, dan bercocok tanam karena hutan yang dulu mereka diami telah menjadi kawasan Taman nasinal. Data yang dikantongi AMAN, 27.710.98 Ha kawasan hutan adat bertumpang tindih dengan kawasan hutan versi kementerian Kehutanan. wilayah Hutan adat tersebut,dibagi pemerintah menjadi Area penggunaan Lain (APL) seluas 8056.406 Ha, Hutan Lindung (HL) seluas 5951.642, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 8134.122 Ha, Hutan Produksi Tetap seluas 1657.313 Ha, Hutan Produksi yang Dapat Dikonservasi (HPK) seluas 139.696 Ha, dan Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam (KPA) seluas 268.653 Ha.
Dengan adanya tumpang tindih lahan tersebut, hingga terjadinya diskriminasi atas warga atas tanah-kebun, dan wilayah jelajah Suku Tobelo Dalam, PW AMAN Malut pun mulai mengambil tindakan saat ini agar pemerintah Halmahera Timur segera mengeluarkan mengsahkan Perda berdasarkan putusan MK No 35/PUU-X/2012.

Oleh: Faris Bobero
 

0 komentar:

Posting Komentar