Pendahuluan
Menurut
Gudykunst(1983), dalam tradisi ilmu komunikasi dikenal lima pendekatan teoritis
yang dapat membantu kita dalam menelaah fenomena komunikasi antarbudaya:
- Teori komunikasi berdasarkan analisis kebudayaan implisit;
- Teori analisis kaidah peran;
- Teori analisis interaksi antabudaya;
- Teori yang bersumber dari tradisi retorika;
- Teori yang bersumber pada teori sistem
Dari kelima
pendekatan itu, hanya tiga pendekatan yang pertama dengan
varian-variannya yang akan kita bahas dalam bab ini.
Teori
Analisis Kebudayaan Implisit
Kebudayaan Implisit, di sini diartikan sebagai kebudayaan
imaterial, yaitu kebudayaan yang bentuknya tidak nampak sebagai suatu
“benda” namun dia “tersirat” dalam nilai dan norma budaya suatu masyarakat,
misalnya bahasa. Mengenal Teori Komunikasi Antarbudaya Berdasar Tradisi Perspektif
Ilmu Komunikasi
Setiap
manusia telah menjadikan bahasa sebagai kebudayaan implisit
tersebut untuk mengungkapkan skema kognitif-nya. Yang dimaksud dengan skema
kognitif di sini adalah skema pikiran, gagasan,pandangan dan
pengalaman manusia tentang dunia.
Manusia
memakai bahasa untuk berkomunikasi guna mempertahankan hubungan antarpribadi
maupun hubungan antarpribadi dengan suatu institusi dalam masyarakat.Dalam
bahasa itu simbol-simbol verbal dengan suatu aturan tertentu diorganisasikan
menjadi “kode-kode sosio-linguistik”. Kode-kode sosio-linguistik inilah
yang nantinya akan menjadi karakteristik utama suatu masyarakat dengan budaya
lisan. Ini artinya, kode linguistik menjadi bagian dari kebudayaan,
sehingga logislah jika kode-kode itu juga dipengaruhi oleh kebudayaan yang pada
akhirnya menjelma menjadi bahasa verbal.
Para
ahli sosio-linguistiklah yang pada mulanya tertarik untuk menelaah komunikasi
antarbudaya dengan pendekatan bahasa.Frake (1968) misalnya, pernah meneliti
tentang hubungan antara kebudayaan dengan cara anggota kebudayaan itu membentuk
kata-kata.Dia menyimpulkan, bahwa setiap kata pasti mewakili konsep tertentu
dan konsep itu merupakan skema kognitif individu.Dia juga menerangkan bahwa
struktur skema kognitif individu, yang tercermin dalam komunikasi lewat bahasa,
berasal dari dan dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan tertentu, dalam hal
ini kebudayaan implisit-nya.
Seorang
peneliti lain, yakni Halliday (1978), berpendapat bahwa bahasa merupakan satu
alat yang terbaik untuk mengkonseptualisasikan semua ikhwal tentang dunia
secara objektif.Halliday melakukan penelitian tentang fungsi bahasa yang
kemudian sampai pada kesimpulan bahwa fungsi utama bahasa berkaitan dengan
pilihan strategi tindakan manusia.Menurutnya ada beberapa fungsi utama
bahasa yang dapat dipakai sebagai pedoman di dalam tindakan manusia,di
antaranya adalah fungsi : pribadi,kontrol,referensial,imajinatif,dan
manajemen identitas.
Fungsi pribadi
di sini nampak dalam tindakan mengelaborasi perasaan subjektif,motif,kebutuhan,
perspektif negosiasi, atau perundingan.
Fungsi kontrol
dapat terekspresi dalam mempengaruhi cara orang berfikir dan bertindak.
Fungsi referensial
mengambarkan objek dan relasi objektif antara manusia dengan dunia luar.
Fungsi
imajinatif terlihat dari kemampuan suatu bahasa dalam menciptakan
cara-cara baru melihat dunia luar.
Fungsi manajemen
identitas terlihat dari kemampuan bahasa untuk menciptakan identitas
individu.
Hasil
penelitian lain tentang bahasa dalam kasus-kasus komunikasi lintas budaya
menunjukkan bahwa pemerkayaan bahasa mampu memperluas pemahaman terhadap
struktur objek kebudayaan,tipe-tipe strategi tindakan manusia dalam konteks
komunikasi antarbudaya.
Menutup
catatan kita tentang teori analisis kebudayaan implisit ini dapat kita garis
bawahi bahwa pendekatan kebudayaan implisit memuat beberapa asumsi dasar yaitu
:
- Bahwa kebudayaan mempengaruhi skema kognitif;
- Kebudayaan mempengaruhi organisasi tujuan dan strategi tindakan;
- Kebudayaan mempengaruhi pengorganisasian skema interaksi; dan
- Kebudayaan mempengaruhi proses komunikasi.
Teori
Analisis Kaidah Peran
Selain
terdapat berbagai versi aplikasi teori kaidah peran, dalam berbagai literatur
komunikasi yang membahas tentang kaidah peranpun telah mendefinisikan konsep kaidah
peran ini secara beragam.Namun secara umum konsep kaidah peran
ini dapat digambarkan sebagai berikut : bahwa setiap peran manusia mempunyai
“kaidah peran” tertentu sehingga satu peran akan diikuti oleh peran lain, satu
perilaku akan diikuti oleh perilaku lain( Rom Harre dalam Pearce 1976).
Misalnya,
jika terjadi X maka orang biasanya akan melakukan Y, oleh karena itu orang akan
mempunyai peluang melakukan Y.Akibatnya kita dapat meramalkan bentuk-bentuk
perilaku individu.
Berikut ini
beberapa contoh penelitian yang mendasarkan pada teori kaidah peran dan dipakai
dalam konteks komunikasi antarbudaya:
Penelitian
Ekman dan Friesen terhadap beberapa kelompok budaya menunjukkan bahwa peranan
ekspresi wajah menggambarkan emosi yang selalu berubah secara teratur.Perubahan-perubahan
itu memberikan informasi tentang tingkat emosi manusia.
Morris dkk,
dalam Pierce (1976), yang meneliti makna mimik komunikasi lintas budaya juga
mendapati bahwa setiap perilaku gerakan tubuh mengikuti pola yang teratur.Dia
juga menemukan ada perbedaan makna gerakan tubuh antarbudaya.Kesimpulan Morris,
perilaku non-verbal antarbudaya mempunyai regularitas tertentu di mana satu
perilaku diikuti oleh perilaku yang lain.
Penelitian
tentang kaidah peran oleh Cushman dan Pearce (dalam Pierce 1976), menunjukkan
bahwa kaidah peran ternyata juga membentuk perilaku.Mereka menyimpulkan bahwa pelaku(kaidah
peran) sadar bahwa yang ia lakukan pasti mempunyai dampak tertentu.Jadi
misalkan, Si A menginginkan Y.Si A tahu bahwa dia harus melakukan X kalau mau
dapat Y.Karena itu si A menyiapkan tindakan tertentu untuk mendapatkan Y.
Teori
Analisis Interaksi Antarbudaya
Di bawah
payung teori analisis interaksi antarbudaya terdapat beberapa pendekatan yang
sering digunakan:
- Pendekatan jaringan metateoritikal;
- Teori pertukaran;
- Teori pengurangan tingkat ketidakpuasan;
- Pendekatan psikologi humanistik
- Pendekatan etnografi dan deskripsi kaidah peran;
- Pendekatan adaptif;
- Coordinated Management of Meaning/CMM Approach.
(1)Pendekatan
jaringan metateoritikal
Teori ini
memfokuskan pada tema hubungan antarpribadi dengan tekanan utama pertentangan
atau ketegangan mental akibat individu yang mempertahankan “prinsip otonomi
pribadi” dengan “ketergantungan antarpribadi”.
Pada mulanya
teori ini memang berawal dari kajian para ahli psikologi.Bohcner (1967)
misalnya, pernah meneliti tentang persaingan individu dalam sebuah
organisasi.Ia menemukan, bahwa ketegangan individu dapat dijelaskan dengan
melihat sifat hubungan antarpribadi para karyawan.Bila hubungan antarpribadi
“tertutup”, maka tiap karyawan akan merasa tegang.Sebaliknya, semakin
“terbuka”, maka ketegangan mereka akan berkurang.
Ernest
Becker(1971) meneliti tentang hubungan antara otonomi pribadi dengan
ketergantungan pada sesama.Becker menemukan semacam paradoks otonomi
individu.Proses ini bermula sejak anak-anak yang dalam pendidikan dalam
keluarganya senantiasa diliputi oleh larangan ini dan itu.Pada mulanya, si anak
akan melanggar kontrol orang tuanya, namun kemudian anak tersebut sampai pada
titik di mana dia selalu ragu-ragu dalam bertindak.Akhirnya, setiap kali akan
melakukan sesuatu anak tersebut berada pada dilema antara mempertahankan otonomi
individu atau bergantung pada orang tuanya. Dialektika seperti ini
akan terbawa sampai dewasa dan menentukan daya kontrol terhadap relasi
antarpribadi.
Bagaimana
teori ini ketika diterapkan dalam komunikasi antarbudaya? Lewat konstruksi
teori yang kita pahami di atas maka kita bisa menganalisis tindakan
komunikasi dengan memperhatikan pada tingkat mana individu memiliki otonomi dan
pada tingkat mana individu masih bergantung pada orang lain.Artinya dua
faktor di atas menjadi variabel-variabel yang juga mempengaruhi komunikasi
antarbudaya.
Beberapa
penelitian yang pernah dilakukan dengan pendekatan di atas menemukan bahwa
dalam kebudayaan Barat, yang mempunyai struktur kaidah relasi antarpribadi yang
ketat sangat mempengaruhi derajad relasi, yakni relasi yang sangat terbatas dan
tertutup. Hal itu nampak dalam frekuensi komunikasi dan tingkat pertukaran
informasi antarpribadi.
Data-data
dari berbagai hubungan antarbudaya menunjukkan bahwa orang Amerika berkulit
hitam lebih membutuhkan informasi tentang kelanjutan hubungan daripada orang
Amerika kulit putih.
Kesimpulan
dari pendekatan metateoritikal ini adalah bahwa nilai-nilai kebudayaan suatu
masyarakat sangat menentukan otonomi individu,ketergantungan individu dengan
orang lain dalam rangka menciptakan derajad hubungan antarpribadi.
(2)Teori
Pertukaran
Teori
pertukaran atau exchange theory,pada mulanya dikembangkan oleh para
peneliti sosiologi.Thibaut dan Kelly-lah (dalam Liliweri,1991) yang
mengembangkan teori ini.
Inti teori
ini mengatakan bahwa hubungan antarpribadi bisa diteruskan dan dihentikan.Hal
ini dikarenakan dalam perkembangan hubungan antarpribadi, setiap orang
mempunyai pengalaman tertentu sehingga dia dapat membandingkan faktor-faktor
motivasi dan sasaran hubungan antarpribadi yang dilakukan di antara beberapa
orang.Makin besar keuntungan yang diperoleh dari hubungan antarpribadi, makin
besar peluang hubungan tersebut diteruskan.Begitu juga sebaliknya.
Wood (1982)
mengidentifikasi 12 karakeristik pendekatan pertukaran tersebut:
1)
Prinsip Individual
Komunikasi
memasuki tahap awal.Antara individu yang memprakarsai hubungan antarpribadi
berharap kualitas hubungan meningkat. Apabila memburuk maka hubungan
antarpribadi dihentikan
2)
Komunikasi coba-coba
Tiap
individu melakukan uji coba dalam hubungan antarpribadi dengan cara mencari
informasi di antara masing-masing pihak.Apakah hubungan akan berlanjut
bergantung pada informasi yang diperoleh,apakah informasi itu dapat
meningkatkan loyalitas hubungan atau justru menambah keragu-raguan.
3)
Komunikasi eksplorasi
Hampir sama
dengan komunikasi coba-coba hanya saja sifatnya lebih mendalam.Informasi dari
berbagai sumber digali makin dalam.Individu yang terlibat di sini akan meneliti
ulang tiap informasi yang didapatkan dan tidak begitu mudah mengambil
keputusan.
4)
Komunikasi ephoria
Di sini,
masing-masing individu sudah meleburkan kepentingan yang berbeda dan membentuk
suatu hubunganbaru atas dasar yang sama.
Fungsi
komunikasi tahap ini:
(1) mengubah
individu dari suatu peran sosial ke peran sosial yang baru dan menjadikan peran
baru itu sebagai dasar hubungan yang baru;
(2)
membiarkan dasar hubungan yang sudah disepakati berlangsung terus;
(3)memberikan
informasi tentang pribadi kepada partisipan komunikasi;
(4)
membiarkan empaty dengan mengambil peran komunikan,
5) Komunikasi
yang memperbaiki
Pada tahap
ini komunikasi berfungsi memperbaiki dan mengevaluasi kembali hubungabn
antarpribadi, keputusan yang diambil biasanya adalah terus melanjutkan hubungan
antarpribadi.
6)
Komunikasi pertalian
Dua pihak
menetapkan bersama waktu dan tempat kesinambungan komunikasi.
7)
Komunikasi sebagai pengemudi
Tahap ini
ditandai dengan tahap keluwesan kontrol atas kebiasaan-kebiasaan hubungan
antarpribadi.Daya kontrol telah tercipta sedemikian rupa sehingga menghasilkan
kaidah peran bersama.
8)
Komunikasi yang membedakan
Ini adalah
tahap di mana individu justru kembali berusaha menekan karakteristik
individu.Individu kembali menegaskan perbedaan-perbnedaan pola kebudayaan dan
kemudian meneruskan relasi dengan cara lain.
9)
Komunikasi yang disintegratif.
Komunikasi
mulai menemukan titik-titik perbedaan antar pribadi sehingga berpotensi
munculnya disintegrasi.Dua pihak mulai mengingkari budaya masing-masing,
kaidah-kaidah relasi mulai di rusak sehingga derajad hubungan
diperenggang.Komunikasi antarpribadi hanya berlangsung kalau menyangkut
tema-tema tertentu, jarak sosial antarpribadi semakin besar.
10)
Komunikasi yang macet.
Komunikasi
masuk pada tahap di mana masing-masing pihak mencari peluang dengan menciptakan
masalah dan waktu/kesempatan yang cocok agar hubungan antarpribadi
dihentikan.Relasi antarpribadi hanya akan berlangsung pada konteks-konteks yang
benar-benar pribadi.
11)
Pengakhiran Komunikasi
Hubungan
antar pribadi memasuki tahap perundingan tentang perhentian interaksi
antarpribadi.
12)
Individualis
Komunikasi
memasuki tahap akhir, di mana suasana hubungan antarpribadi tidak pasti,
masing-masing pihak menyendiri dan tidak tahu dari mana komunikasi harus
dimulai.
(3)Teori
Pengurangan Tingkat Ketidakpuasan
Teori
ini dikembangkan oleh Berger(1982).Dia mengemukakan bahwa salah satu fungsi
komunikasi adalah fungsi mencari informasi dalam upaya mengurangi tingkat
ketidakpuasan komunikator dan komunikan.Menurut Berger, setiap individu
berkomunikiasi antarpribadi hanya untuk mendapatkan kepastian.Kepastian membuat
seorang individu merasa yakin dan percaya kepada sesama.
Keinginan
untuk mencari kepastian ini makin kuat ketika:
- Perilaku pihak lain menyimpang dari kebiasaan umum;
- Kita mengantisipasi perulangan interaksi; dan
- Ada peluang untuk memperoleh ganjaran dan hukuman dari pihak lain.
Berger
mengajukan strategi mencari informasi agar individu mengurangi tingkat
ketidakpuasan tentang pihak lain:
1. Mengamati pihak lain secara pasif
2.
Menyelidiki atau menelusuri pihak lain.
3.
Menanyakan informasi melalui pihak ketiga.
4.
Penanganan lingkungan terhadap pihak lain;
5.
Interogasi ;
6. Membuka
diri .
Teori ini
telah begitu sering diterapkan ke dalam strategi komunikasi antarbudaya,
misalnya untuk menyusun strategi mengurangi tingkat ketidakpastian dalam
hubungan antara individu-individu yang saling beda kebudayaan atau bangsanya.
(4)Pendekatan
Psikologi Humanistik
Teori atau
pendekatan psikologi humanistik senantiasa menekankan bahwa jika setiap
pribadi dari berbagai budaya yang berbeda membuka pribadinya bagi sesama maka
dia pun akan dikenal dan mengenal sesama.
Beberapa
penelitian tentang “keterbukaan” pernah dilakukan, di antaranya oleh Park
(dalam Gudykunst), Walter Kaufman(1980), McNamee (1980), kemudian Cissna dan
Sieberg, Harris dkk.(dalam Gudykunst).Penelitian-penelitian tersebut menemukan
bahwa pada umumnya setiap individu selalu berusaha membuka diri,derajad
keterbukaan pribadi itu dipengaruhi oleh siatuasi dan kondisi, waktu dan
kesempatan, siapa yang dijadikan objek relasi, jenis media yang dipilih dan
lain-lain.
Sebuah teori
lain yang mirip dengan ini dikemukakan oleh Johari yang kemudian dikenal dengan
teori self disclosure atau sering disebut teori “Johari
Window”.Asumsi dasar teori ini mengatakan kalau setiap individu bisa memahami
diri sendiri maka dia bisa mengendalikan sikap dan tingkah lakunya di saat
berhubungan dengan orang lain.
(5)
Pendekatan peran berdasarkan deskripsi etnis
Teori ini
dirumuskan di antaranya oleh Wallace (1961) yang mengatakan bahwa komunikasi
antarpribadi ditentukan oleh pendekatan peran berdasarkan deskripsi etnografi.
Teori ini
masih dekat dengan teori/pendekatan metateoritikal yang berbicara soal otonomi
individu dan ketergantungan antarpribadi. Bila diterapkan dalam konteks
komunikasi antarbudaya maka pertanyaan inti pendekatan peran berasarkan
deskripsi etografi ini adalah, apakah setiap norma kelompok etnik memberikan
peluang terbentuknya otonomi individu dan ketergantungan pribadi.
Dalam suatu
masyarakat arkais, tingkat otonomi individunya kecil sehingga deskripsi
etnografi masyarakat arkais senantiasa digambarkan memiliki sikap kolektif. Dan
ketika jumlah masyarakat arkais telah berkurang atau nilai-nilai kolektivitas
pada masyarakat tersebut memudar maka terjadi kecenderungan meningkatnya
tingkat otonomi individu.Faktor terakhir inilah yang sangat mempengaruhi
hubungan antarbudaya, karena itu kita memerlukan deskripsi etnografi yang
mendalam terhadap individu.
(6)Pendekatan
adaptasi
Teori ini
diperkenalkan oleh Ellingwoorth (dalam Gudykunst 1983), dia mengatakan bahwa
setiap individu dikaruniai kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi.Adaptasi
nilai dan norma antarpribadi termasuk antarbudaya sangat ditentukan oleh dua
faktor, yakni pilihan untuk mengadaptasi nilai dan norma yang fungsional atau
mendukung hubungan antarpribadi.Atau nilai dan norma yang disfungsional atau
tidak mendukung hubungan antarpribadi.
Beberapa
penelitian Ellingworth berkisar pada pertukaran nilai yang diinformasikan
melalui perilaku pesan verbal dan non-verbal.Pendekatan ini banyak diadopsi
dalam komunikasi antarbudaya di negara-negara berkembang.
(7)
Pendekatan Manajemen Koordinasi Makna
Teori
ini mengkhususkan diri pada “metapora pesan” dan diperkenalkan oleh
Pearce dan Cronen ( dalam Gudykunst, 1983).Pendekatan ini mengajukan beberapa
argumentasi sebagai berikut :
Bahwa
hubungan antara pola-pola komunikasi akan dinilai berkualitas tinggi kalau
hubungan itu dilakukan pada konteks hubungan antarpribadi yang dilandasi oleh
konsep diri (self concept) atau konsep kebudayaan sendiri (self culture)
Asumsinya,
semua tindakan menghasilkan konteks dan konteks menghasilkan tindakan.
Terdapat
lima tingkat konteks dalam pendekatan manajemen koordinasi makna :
- Konteks perilaku verbal dan Nonverbal,diasumsikan bahwa pesan yang ditukar oleh mereka yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi selalu memilih konteks yang sesuai dengan penerapan pesan verbal dan nonverbal
- Konteks Aktivitas Komunikasi Verbal, konteks ini selalu dikaitkan dengan tingkat pemahaman bersama atas makna.
- Konteks Episode, konteks ini selalu menggambarkan situasi yang memudahkan penampilan dan pengembangan pola-pola perilaku timbal balik yang secara teratur di terima.
- Konteks Relationship, adalah konteks yang menggambarkan situasi bentuk sosial antara dua orang atau lebih.
- Konteks Life Scripting, adalah konteks yang mementingkan penghayatan atas “konsep diri” dalam pelbagai tindakan relasi antarpribadi
- Konteks Pola-pola Budaya, konteks yang memberi kemungkinan individu untuk mengetahui dan memilih tindakan dan makna relasi antarpribadi yang diterima oleh masyarakat secara kolektif.
Referensi :
Berger &
Chaffee (Eds) Handbook of Communication Science.Beverly
Hills,Calivornia:Sage,1987
Gudykunst,William
B.(Ed) “Intercultural Communication Theory “ Beverly
Hills, Calivornia :Sage Publications, 1983
Liliweri,
Alo. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya,Pustaka
Pelajar,Yogyakarta, 2001
0 komentar:
Posting Komentar