TEORI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Philipsen (dalam Griffin, 2003)
mendeskripsikan budaya sebagai suatu konstruksi sosial dan pola simbol,
makna-makna, pendapat, dan aturan-aturan yang dipancarkan secara mensejarah.
Pada dasarnya, budaya adalah suatu kode.
Terdapat empat dimensi krusial yang dapat untuk memperbandingkan
budaya-budaya, yaitu:
- Jarak kekuasaan (power distance)
- Maskulinitas.
- Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).
- Individualisme.
Berkenaan dengan pembahasan komunikasi antarbudaya, Griffin
(2003) menyadur teori AnXiety/Uncertainty Management; Face-Negotiation;
dan Speech Codes.
1. Anxiety/Uncertainty Management
Theory (Teori Pengelolaan
Kecemasan/Ketidakpastian).
Teori yang di publikasikan William Gudykunst ini
memfokuskan pada perbedaan budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat
bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan
diantara keraguan dan ketakutan.
Ia menggunakan istilah komunikasi efektif kepada
proses-proses meminimalisir ketidakmengertian. Penulis lain menggunakan istilah
accuracy, fidelity, understanding untuk hal yang sama.
Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian
adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok.
Terdapat dua penyebab dari mis-interpretasi yang berhubungan erat, kemudian
melihat itu sebagai perbedaan pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan
kecemasan yang bersifat afeksi- suatu emosi.
Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management
Theory:
a. Konsep diri dan diri.
Meningkatnya harga diri ketika
berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan
mengelola kecemasan.
b. Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.
Meningkatnya kebutuhan diri untuk
masuk di dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan
menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan.
c. Reaksi terhadap orang asing.
Sebuah peningkatan dalam
kemampuan kita untuk memproses informasi yang kompleks tentang orang asing akan
menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat
perilaku mereka.
Sebuah peningkatan untuk
mentoleransi ketika kita berinteraksi dengan orang asing menghasilkan sebuah
peningkatan mengelola kecemasan kita dan menghasilkan sebuah peningkatan
kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing.
Sebuah peningkatan berempati
dengan orang asing akan menghasilkan suatu peningkatan kemampuan memprediksi
perilaku orang asing secara akurat.
d. Kategori sosial dari orang asing.
Sebuah peningkatan kesamaan
personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang asing akan menghasilkan
peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan kemampuan memprediksi
perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi: pemahaman perbedaan-perbedaan
kelompok kritis hanya ketika orang orang asing mengidentifikasikan secara kuat
dengan kelompok.
Sebuah peningkatan kesadaran
terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif kita dan atau harapan
negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan akan menghasilkan
penurunan di dalam rasa percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka.
e. Proses situasional.
Sebuah peningkatan di dalam
situasi informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan
sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri kita
terhadap perilaku mereka.
f. Koneksi dengan orang asing.
Sebuah peningkatan di dalam rasa
ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita
dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan perilaku mereka.
Sebuah peningkatan dalam jaringan
kerja yang kita berbagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan
kecemasan kita dan menghasilkan peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi
perilaku orang lain.
2. Face-Negotiation Theory.
Teori yang dipublikasikan Stella
Ting-Toomey ini membantu menjelaskan perbedaan –perbedaan budaya dalam merespon
konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan
selalu negotiating face. Istilah itu adalah metaphor citra diri
publik kita, cara kita menginginkan orang lain melihat dan memperlakukan diri
kita. Face work merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang membantu
menjaga dan menyimpan rasa malu (face loss), dan menegakkan muka
terhormat. Identitas kita dapat selalu dipertanyakan, dan kecemasan dan
ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik yang membuat kita tidak
berdaya/harus terima. Postulat teori ini adalah face work orang-orang
dari budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis. Ketika face work
adalah berbeda, gaya penangan konflik juga beragam.
Terdapat tiga perbedaan penting
diantara budaya individulis dan budaya kolektivis. Perbedaan-perbedaan itu
adalah dalam cara mendefinisikan: diri; tujuan-tujuan; dan kewajiban.
konsep
|
Budaya individualis
|
Budaya kolektivis
|
Diri
|
Sebagai dirinya sendiri
|
Sebagai bagian kelompok
|
Tujuan
|
Tujuan diperuntukan kepada
pencapaian kebutuhan diri.
|
Tujuan diperuntukan kepada
pencapaian kebutuhan kelompok
|
Kewajiban
|
Melayani diri sendiri
|
Melayani kelompok/orang lain.
|
Teori ini menawarkan model
pengelolaan konflik sebagai berikut:
a. Avoiding (penghindaran) – saya akan menghindari diskusi
perbedaan-perbedaan saya dengan anggota kelompok.
b. Obliging (keharusan) – saya akan menyerahkan pada ke
kebijakan anggota kelompok.
c. Compromising – saya akan menggunakan memberi dan menerima
sedemikian sehingga suatu kompromi bisa dibuat.
d. Dominating – saya akan memastikan penanganan isu sesuai
kehendak-ku.
e. Integrating – saya akan menukar informasi akurat dengan
anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama-sama.
Face-negotiation teory menyatakan bahwa avoiding,
obliging, compromising, dominating, dan integrating
bertukar-tukar menurut campuran perhatian mereka untuk self-face dan other
-face.
3. Speech Codes Theory.
Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha
menjawab tentang keberadaan speech code dalam suatu budaya, bagaimana
substansi dan kekuatannya dalam sebuah budaya. Ia menyampaikan
proposisi-proposisi sebagai berikut:
a. Dimanapun ada sebuah budaya, disitu
diketemukan speech code yang khas.
b. Sebuah speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi
budaya.
c. Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan
pembicara dan pendengar untuk memkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.
d. Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.
e. Kegunaan suatu speech code bersama adalah menciptakan kondisi
memadai untuk memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang
intelijenitas, prudens (bijaksana, hati-hati) dan moralitas dari perilaku
komunikasi.
Julvian deadflamers mengatakan...
Luar biasa..ini yang saya cari untuk bahan tugas
perkuliahan saya !
Salam kenal dan terima kasih postingan nya :)
Julvian
110240120
Manajemen komunikasi
Salam kenal dan terima kasih postingan nya :)
Julvian
110240120
Manajemen komunikasi
0 komentar:
Posting Komentar