1. Tunjukkan
dan jelaskan hal-hal apa saja yang terkandung dalam makalah Adiwibowo
et al (2010) sehingga makalah tersebut dapat tergolong dalam ranah political ecology.
2. Bryant pada paragraf terakhir di halaman 89 menuliskan sebagai berikut:
“To
begin with, political ecology needs to go beyond the `land centrism'
that has characterized most of the work done so far under its name………It
is indeed curious that, although water is `essential material for
maintaining bodily and social life', the political ecology of water
quality
and
availability is still only in its infancy (Swyngedouw, 1995:402)……… Yet
unequal power relations are as likely to be `inscribed' in the air or
the water as they are to be `embedded' in the land”.
Jelaskan apa yang dimaksud oleh Bryant di akhir kalimat dari paragrafdimaksud?
Jawab:
Untuk
bisa menjawab kedua pertanyaan tersebut diperlukan pemahaman terhadap
pengertian ekologi politik, bagaimana sejarah perkembangannya sehingga
bisa menjadi diskursus ilmiah, focus dan ranah kajiannya seperti apa dan
bagaimana bisa digunakan dalam praktik untuk melakukan analisis
terhadap fenomena social, budaya, politik, ekonomi dan lingkungan.
Dalam buku Critical Political Ecology, The Politics of Environmental Science, Tim Forsyth (2003), Bab 1 menjelaskan perdebatan tentang konsep ekologi politik, dan variasi perbedaan pendekatan untuk memaknai “ekologi” dalam ekologi politik. Konsep umun ekologi politik yang diterima banyak kalangan adalah:
The
social and political condition surrounding the causes, experiences and
management of environment problem, (Blaikie, Brookfield,1987, Bryant
1992, Greenberg, Park 1994; Zimmerer, 2000) (dalam Forsyth 2003).
Sementara itu, Forsyth juga memberikan beberapa pendekatan dalam menjelaskan pengertian ekologi politik sebagai berikut:
Beberapa pendekatan untuk menjelaskan pengertian ekologi politik.
Sumber: diolah dari Forsyth, 2003
Secara
historis perkembangan ekologi politik dimulai dari antropologi budaya
ke sosiologi lingkungan, dari sosiologi lingkungan ke ekologi politik.
Pada akhir abad 20, investigasi teoritik yang mengkombinasikan
sosiologi, antropologi dan ekologi menghasilkan persenyawaan baru social dan ecology (the dynamics of human-environment interaction) sebagai perluasan studi ekologi manusia. Pada kajian social ekologi ditelaah lebih lanjut mslah-masalah social dan hokum secara societal dinamycs yang terjadi sebagai konsekuensi perubahan ekologi di suatu kawasan. Pada taraf lebih lanjut metamorfosa human ecology menghasilkan cabang ilmu baru sociology of human ecology (Miklin dan Poston, 1998 dalam Dharmawan 2007).
Cabang baru ini makin berkembang menjadi environmental sociology yang mulai dikembangkan secara meluas oleh public academia sejak akhir abad 20 (Redclif dan Woodgate 1997 dan Dunlap et al 2002 dalam Dhamawan 2007). Metamorfosa ekologi manusia tidak berhenti sampai disitu karena perjumpaannya dengan political economics, menghasilkan cabang keilmuan baru yang mulai banyak diminati para sarjana ilmu social, yaitu political ecology (ekologi politik) yang didominasi oleh tradisi pemikiran ala historical materialism Marxian dengan atmofter konflik yang sangat kuat (Forsyth 2003; Robbins 2004 dalam Dharmawan 2007).
Ekologi
politik berdiri dari konsep-konsep sebelumnya (antropologi, sosiologi
lingkungan, geografi, ekonomi, politik dll), karenanya ia merupakan tepi
ilmu pengetahuan yang perlu dibangun (edge of science). Pertemuan antara ilmu social dan ilmu alam.
Untuk dapat mendeskripsikan fenomena ekologi politik bisa dirunut dengan menggunakan pendekatan actor. Seperti tulisan Bryant dan Bailey dalam buku; The Third World Political Ecology tahun 1997 yang menekankan pendekatan actor dalam melihat kajian ekologi politik. Buku ini berpijak pada konsep politicized environment dan bahwa persoalan lingkungan tidak terpisah dengan konteks ekonomi dan politik .
Asumsi yg mendasari pendekatan aktor;
- Biaya dan manfataat yang dinikmati aktor tidak merata
- Distribusi biaya manfaat mendorong ketimpangan
- Dampak social ekonomi mempunyai implikasi politik
Di sisi lain Fosyth menawarkan pendekatan kritis dalam mendiskripsikan fenomena ekologi politik. Pendekatan kritis memfokuskan pada:
1. Domination of nature terkait dg kapitalisme penyebab degradasi
lingkungan
2. Pendekatan baru bersifat post structuralist, pengaruh sejarah dan budaya
thd evolusi konsep perubahan dan degradasi lingkungan sbg kekuatan linguistik & politik
3. Mengkritik konsep balance of nature, equilibrium ecology,
environmental ortodox
Membicarakan ekologi politik tidak bisa lepas dari sumber-sumber politik yang bisa memberi pengaruh pada perubahan lingkungan. Sumber-sumber tersebut antara lain; pengetahuan, kebijakan/policy, gender, ekonomi, diskursus dan lainnya.
Berdasar uaraian di atas akan dijawab pertanyaan ujian sebagai berikut:
1. Tulisan Adiwibowo et al (2010)berjudul “Contested Devolution: The Political Ecology of Community-Based Forest Management In Indonesia”
Tulisan
ini membahas tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat sebagai
upaya aplikasi ekologi politik pada tiga kasus yakni kasus Hutan Damar
di Krui, Sumatera Barat, Tanaman Hutan rakyat di Konawe di Sulawesi
Tenggara, dan masyarakat konservasi di Taman Nasional Lore Lindu.
Tulisan ini mencoba melakukan kritik atas konsep Ostrom dan pengikutnya yang memahami bahwa dengan adanya property right
dalam hal ini melalui devolusi akan terbentuk tindakan kolektif yang
akan berjalan dengan baik. Akan tetapi tulisan ini menyajikan konsep
yang berbeda dimana bukan hanya property right saja yang bisa
menyelesaikan persoalan kehutanan tetapi konteks yang lebih luas dan
kompleks yang juga akan mempengaruhi devolusi. Seperti konsep teori
akses dari Ribbot dan Peluso yang disitir memperlihatkan dalam hal
pengelolaan hutan, individu atau kelompok tertentu bisa mendapatkan
keuntungan dari pengelolaan hutan dengan memiliki hak ataupun tidak memiliki hak pengelolaan hutan.
Hal
ini menunjukkan bahwa persoalan penyerahan hak dan tanggung jawab dalam
pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam tiga kasus yang diteliti
bisa dianalisis dari berbagai dimensi; akses dan control terhadap sumber
daya (bisa melalui pengetahuan, kekuasaan dll), hak, kewenangan,
kontestasi actor, relasi kekuasaan pusat daerah, user, individu dan
kelompok tertentu.
Tulisan ini masuk dalam ranah kajian political ekologi. Secara sederhana bisa dilihat dari;
1. Pilihan
judul yang diambil yaitu kontestasi penyerahan hak dan tanggungjawab:
politik ekologi pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
2. Kerangka analisis yang digunakan kental dengan konsep ekologi politik seperti; legal
right, property relation, actual power, democratic governance, forest
policy processes, transfer of wealth and power, sustainability issues.
3. Ranah/objek
kajian adalah menyangkut aspek fisik lingkungan dalam hal ini hutan dan
pengelolaannya (terdapat kontestasi dalam devolusi)
Secara spesifik hal-hal yang terkandung dalam tulisan yang bisa menunjukkan bahwa tulisan ini masuk ranah political ekologi (merujuk pada pendekatan ekologi menurut Forsyth: 2003) antara lain terlihat pada:
a. Adanya interaksi antara Negara, actor non Negara dan lingkungan fisik:
Seperti ditunjukkan
pada kasus Krui dimana perubahan regim dari orde baru yang memiliki
kebijakan kehutanan dimana hutan adalah milik Negara diganti secara
fundamental. Di sana ada interaksi antara negara (regim) ada masyarakat
local dan lingkungan fisik yakni hutan Damar
b. Terdapatnya gerakan ekologi atau gerakan hijau
Seperti
ditunjukkan pada kasus Taman Nasional Lore Lindu dimana ada uapaya
konservasi berbasis pengetahuan local, tradisi, kebiasaan, nilai-nilai
dan institusi local desa Toro di Sulawesi Tengah.
c. Adanya interaksi proses biofisik, kebutuhan manusia dan sistem politik yang lebih luas.
Seperti
ditunjukkan pada kasus Hutan Tanaman Rakyat di Konawe Selatan propinsi
Sulawesi Tenggara. Terdapat interaksi antara biofisik (hutan) dengan
kebutuhan manusia (sebagai base livelihoods masyarakat) dan sistem
politik yang lebih luas yakni NGO, TFT, KHJL, JAUH, FSC, CPF.
d. Memuat analisis distribusi hak dan sumber daya
Seperti diutnjukkan pada kasus Ijin Usaha Pemanfaaatan Hasil Hutan Rakyat di Konawe selatan. Terdapat skema keadilan distribusi keuntungan di KHJL.
e. Adanya interaksi interdependensi individu, komunitas, alam dan national
Misalnya pada kasus Konawe NGOs mengadvokasi dan memandu KHJL untuk memanegemen hutan, kapasitas teknis, membuka akses pasar.
2. Yang dimaksud Bryant di akhir kalimat paragraf yaitu: bahwa intinya ekologi
politik tidak boleh berhenti pada batas titik tertentu tetapi perlu
terus di dorong kepada hal-hal yang baru. Ekologi politik tidak hanya
sebatas membahas persoalan lahan yang selama ini dicitrakan sebagai
kajian ekologi politik berkaitan dengan tanah/lahan. Oleh karena itu
selain tetap melakukan kajian
terhadap masalah perubahan lingkungan berkaitan dengan lahan perlu di
perluas pada perubahan lingkungan berkaitan dengan perubahan kualitas
udara dan air.
Selama
ini kajian tentang perubahan kualitas air dan udara yang dikaji dengan
analisis politis masih sangat sedikit. Padahal, terdapat
ketidakseimbangan relasi kekuasaan dalam hal perubahan kualitas air dan
udara sebagaimana terjadi pada kasus ketidakseimbangan relasi kekuasaan
dalam pengaturan dan pemilikan lahan.
Mengapa Bryant menuliskan paragraph tersebut? Hal ini dilakukan
berdasarkan
review bagaimana kekuasaan, pengetahuan dan ekologi politik di Negara
dunia ketiga. Menurutnya ekologi politik yang dilakukan untuk menguji
dinamika politik sekitar materi dan perjuangan diskursus atas
lingkungan. Perhatian khusus diberikan pada cara-cara dimana konflik
atas akses terhadap sumber daya lingkungan dikaitkan dengan control
sistem politik dan ekonomi.
Tulisan ini menekankan pada marginalisasi dan kerentanan orang miskin sebagai hasil dari sejumlah konflik. Akibat dari persepsi dan diskursus masalah
lingkungan dan intervensi juga digali untuk memandu debat tentang
kebaikan relative dari pengetahuan local dan ilmu barat. Penelitian
ekologi politik selanjutnya perlu juga untuk memusatkan perhatian pada
isu-isu yang berhubungan dengan perubahan kualitas udara dan air, proses
pengkotaan, atribut organisasional dan tubuh manusia.
Apa yang diungkapkan Bryant sejalan dengan epistemology
ekologi politik dimana ekologi politik berdiri dari konsep-konsep
sebelumnya, karenanya ia merupakan tepi ilmu pengetahuan yang perlu
dibangun (edge of science).
Membangun
ekologi politik sebagai entitas ilmu yang dinamis,perlu memahami ruang
lingkup, landasan etik dan konsep yang relevan tiga bidang ilmu
serumpun, seperti pada table berikut:
No.
|
Elemen pembeda
|
Ekologi Manusia
|
Sosiologi Lingkungan
|
Ekologi Politik
|
01.
|
Unsur yang salingberinteraksi
|
Manusia (human system) dan alam-lingkungan (system ecologi)
|
Sistemsosial dan sistem ecologi (sumberdaya alam dan lingkungan) atau (socio)-culture vis a vis nature
|
Negara, swasta dan masyarakat sipil à setiap ensitas membawa kepentingan yang berbeda atas eksistensi alam
|
02.
|
Moda interaksi anta unsure
|
Sustanence needs fulfillment, pertukaran,, dan perjuangan untuk mempertahankan hidup (survival needs)
|
Penguasaan, produksi, dan reproduksi social-budaya dan ekonomi berbasiskan pada kelimpahan berkah alam
|
Exercise of power and authority & power struggle dalam pengelolaan,pemanfaatan konservasi, dan advokasi terhadap alam
|
03.
|
Obyek interaksi
|
Materi, energy, dan informasi
|
Materi, energy, informasi, modal, uang, wewenang, kekuasaaan/pengaruh, pranata social
|
Kepentingan/interest politik
|
04.
|
Outcome interaksi
|
Konfigurasi budaya-ekologi à sebagai hasil dari proses adaptasi ekologis yang panjang
|
Konfigurasi hubungan social antar pihak à bentuk dinamika yang terbangun sesuai setting alam
|
Konfigurasi tata-pengaturan politik sumberdaya alam dan lingkungan
|
05.
|
Kondisi ideal capaian interaksi
|
Kesetimbangan hubungan manusia-alam yang mantap
|
Struktur dan proses social yang mantap antara sistem ekologi serta antar sistem social yang berbeda kepentingan
|
Sistem eko-sosio-politik yang mantap
|
06.
|
Aras analisis
|
(biasanya) mikro à komunitas local
|
Mikro (komunitas local, meso (kota-desa-daerah aliran sungai/DAS, hutan), makro (Negara dan global)
|
Meso (desa, kota, DAS, hhutan), dan makro (Negara dan global).
|
07.
|
Mazhab teori social dominan ditemukan
|
Pertukaran, jaringan, konflik, kulturisme.
|
Konflik, kritis, structural-fungsional, pertukaran, jejaring, utilitarian
|
Konflik dan aliran kritis
|
08.
|
Akar keilmuan
|
Antropologi budaya dan ekologi-biologi
|
Ekologi manusia dan sosiologi
|
Ekologi manusia, sosiologi lingkungan,dan ekonomi-politik
|
Sumber: Darmawan, 2007.
Dengan
memahami ruang lingkup, landasan etik dan konsep-konsep tersebut
pengembangan ekologi politik akan memiliki focus yang memiliki ciri khas
dan berbeda dari ilmu yang lainnya. Yang lebih penting lagi sebagai
sebuah ilmu perlu senantiasa mendapatkan kritik dan auto kritik sehingga
proses dialektika berjalan demi perkembangan ilmu itu sendiri.
Hal
ini dilakukan karena diskursus ilmu pengetahuan, senantiasa bertalian
dengan kekuasaan. Semakin diskursus mampu menjadi wacana global makaia
mampu memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi individu kelompok masyarakat
Negara bahkan dunia. Mungkinkah ekologi politik mampu menjadi wacana
yang memiliki kekuatan dan kekuasaan global sehingga diskursus ekologi
politik mengalami metamorfosa dari: antropologi (ekologi manusia) menuju sosiologi lingkungan menuju ekologi politik dan menuju Global ecosociology?
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, Soeryo. 2007. Ekologi Manusia. Part. Tulisan Dharmawan: Bogor;
FEMA IPB.
Adiwibowo, Soeryo. Et al. 2010. Contested Devolution: The political Ecology of
Community-Based Forest Management In Indonesia. Jurnal dalam proses
penerbitan.
Bryant.L. Raymond & Bailey.Sinead. 1997. Third World Political Ecology.
London, NewYork: Routledge.
Bryant. L. Raymond. 2008. Power, Knowledge and Political Ecology in Third
World: A Review. Progress in physical Geography 22,1 (1998) pp79-94
Forsyth, Tim. 2003. Critical Political Ecology, the politics of environment, London
and New York: Routledge.
0 komentar:
Posting Komentar