Selasa, 31 Maret 2015

Sejarah Singkat Berdirinya Komunitas Rumput TAKY





Sekitar empat tahun lalu, sekelompok mehasiswa di fakultas sastra dan budaya unkhair yang gelisah dan prihatin melihat kondisi pemuda yang lupa terhadap kebudayaan dan pengetahuan-pengetahuan lokalnya sendiri. Hal ini membuat membuat mereka membentuk sebuah komunitas yang diberi nama ‘Rumput Taky atau Komunitas Taky”. 

Komunitas Taky sendiri  mengusung sebuah prinsip dasar pergerakan yang terdiri dari lima poin yaitu :

1.Pemilik kebudayaan moloku kie raha adalah rakyat sekaligus satu-satunya pencipta kebudayaan 
2.Karya merupakan gerakan pendidikan untuk pemahaman kebudayaan 
3.kualitas Karya harus tertuju kepada realitas yang nyata yaitu kebudayaan 
4.seni dan sastra sebagai jalur berkarya dalam pergerakan dan tidak 5.memandang perbedaan kebudayaan dan slalu menghargai kebudayaan antar sesama.
Maksud dan tujuan rumusan dari prinsip dasar pergerakan Komunitas Taky yaitu untuk bisa membangun kesadaran kepada semua lapisan masyarakat agar bisa mempertahankan kebudayaan atau kearifan-kearifan lokal peninggalan leluhur.
Komunitas Taky sendiri mengutamakan kebersamaan dengan rakyat, belajar bersama rakyat dan menjadikan karya-karya seni sebagai pendidikan dan kampanye yang muda diserap oleh rakyat, semangat gotong royong menjadi ruh untuk hidup di tengah-tengah masyarakat dan berkarya bersama.

Beberapa tahun berjalan banyak aksi-aksi dilakukan, diantaranya aksi sosial dan seni. Komunitas ini membentuk kelompok seni dengan karya-karya yang mengkampanyekan mengenai mempertahankan kebudayaan. Pada tahun 2013, komunitas taky dan beberapa komunitas lainnya melakukan touring untuk pertama kalinya dan melakukan kegiatan budaya di desa Lelilef, Weda Tengah, Halmahera Tengah. Disana juga telah terbentuk sebuah komunitas yang sama tujuannya dengan Taky, yaitu Komunitas Loga-Loga Kreatif yang dibentuk oleh seorang kawan.
Pada tahun 2014 komunitas taky juga melakukan touring di berbagai desa di kabupaten halmahera utara, disana sekaligus membentuk beberapa kelompok atau sanggar seni yang tujuannya sama dengan Taky. Setelah balik dari halmahera, komunitas taky seperti biasa melakukan rutinitas yaitu kajian, pendidikan kebudayaan, pementasan seni dan lain-lain.

Namun kegiatan komunitas sempat vakum dan kurang mulus perjalanannya karena ada kekurang-sepahaman antara beberapa anggota yang membuat hengkangnya komunitas ini. Akhirnya komunitas ini tersisa dua orang¹ yang masih menjalankan aktivitas komunitas.

Sekitar oktober 2014, komunitas Taky sendiri mempunyai anggota baru sekitar lima orang². Kami yang ada kemudian mulai mengorganisir anak-anak di kelurahan gamalama dan mempunyai sekitar 20 anggota baru. Disnilah kami memulai kebangkitan dengan program-program baru, diantaranya perpustakaan dan pelatihan seni. Program ini berjalan agak tersendat karena ada beberapa kekurangan diantaranya mengenai pendanaan.

Pada bulan maret 2015, komunitas taky kembali mengorganisir dan merekrut anggota baru di kawasan pasar yang matoritas anggotanya biasa disebut anak pasar. Pada saat yang sama, Taky meluncurkan sebuah program bernama Literasi Jalanan. Program ini bertujuan untuk 

memfasilitasi pendidikan alternatif (menulis, membaca, berhitung) bagi anak-anak jalanan yang tidak menempuh bangku pendidikan maupun putus sekolah. Hal ini dibuat karena komunitas taky sendiri hidup ditengah hiruk pikuk masyarakat kelas bawah dan umummnya dijalanan, kami melihat bahwa anak-anak banyak yang jauh dari jangkauan pendidikan dan hanya berkeliaran dijalan.
Tepat pada tanggal 22 maret, kami melakukan kegiatan belajar perdana untuk program ini. *

Senin, 30 Maret 2015

Malam Masih Yatim Piatu

Malam Masih Yatim Piatu

Setapak demi setapak kau lalui
Selasar ke selasar kau hinggapi
Di bawah kaki gunung Gamalama
Di depan gedung mewah
Di sana, di tengah hutan rimba raya
Engkau milik siapa?
Malam masih yatim piatu
Kurang ajar itu sang waktu
Begitu cacimu setiap malam menggerutu
Jangan tanyakan siapa-siapa di dalam gedung mewah
Mereka tidak punya telinga bahkan mata untuk melihatmu
Menari, bunyikan tifa, menggongong gelap kini tidak cukup untuk mengembalikan cerita tanah
Tanah kuasa milik siapa…
Malam masih yatim piatu
Tanpa ayah tanpa ibu oh pertiwiku
                batas batu| Senin 16 Desember 2013
             http://farisbobero.blogspot.com/

Sahabat Muridku



Sahabat Muridku



Sahabat muridku
Aku tak tahu lagi harus menyayikan lagu apa
Lagu kemerdekaan ataukah lagu duka untuk kita
Sahabat muridku
Aku tak tahu lagi menjelaskan perubahan lajunya kerajaan di kota terang
Mari kita pahami gelap malam
 
Mungkin dia akan menjawab bahwa setelah rembulan padam pagi akan kembali
Itu cerita massa depan?
Sahabat muridku
Mari kita berandai, seperti kita bisa menenun hujan jadikan lembaran kain untuk seragam jiwa
Supaya kita slalu berhati damai, sejuk, dan bahagia
Sahabat muridku
Mari kita bertanya pada alam sang guru yang hampir padam.
Agats, Asmat| 04 Desember 2013
http://farisbobero.blogspot.com
 

Lelaki di ujung Samudera


Jumat, 21 Februari 2014

Ini cerita laki-laki
Bersampan kayu dari batang kenari
Ada nama ayah di semang kiri
Ada ibu membasuh air mata di semang kanan
Ini cerita laki-laki
Berlayar tinggalkan laut Halmahera
Di ujung samudera angin datang, ombak datang
Ribuan hari dituntun matahari
Kekasih di ujung Halmahera tak lagi kentara
Sampan telah menusuk jantung samudera
jangan kembali oh laki-laki
Sebelum menuntaskan cerita lelaki di ujung samudera 
 
baca juga : http://farisbobero.blogspot.com
 
Asmat| 07 Desember 2013
*Terinspirasi dari puisi Rudi Fofid ”Sampan Itu untuk Faris Bobero. Puisi ini telah hilang bersama jatuhnya Hanphone saya di laut saat perjalanan bersampan long Boat dari Agast menuju Mumugu Batas Batu.

Blok M ( Blakang Moll Jati Land ) Kota Ternate






tadi pas waktu ngamen di blok M atau blakang moll , ada beberapa orang guru 
sedang asik makan di dalam warung, kami yang tergabung di dalam‪#‎komunitasTAKY‬ tiba-tiba di tanya dengan oleh sala satu dari mereka yang juga guru katanya , apakah ada pendidikan di jalan ? kawan - kawan langsung menjawab : torang pe komunitas ada beking program untuk kasi belajar anak - anak di jalan ‪#‎programliterasijalanan‬ tiba-tiba guru itu langsung mengkritik kawan-kawan komunitas taky katanya "TIDAK ADA PENDIDIKAN DI JALANAN"
sebenarnya pendidikan ini sangat luas , kita bisa belajar bersama di luar sekolah , 
di mana saja tempatnya asalkan nyaman, tidak selamanya belajar itu harus di dalam sekolah, apa maksudnya guru itu,, katanya anak-anak yang malas sekolah , padahal guru tidak boleh langsing menjastis seperti itu , cobah lihat dulu permasalahan yang di alami oleh muridnya, sapa tau kalau tingkat ekonomi di dalam keluarganya memprihatinkan atau karna guru yang belum memahami tentang pisikologi anak.
beribu guru yang ada di indonesia tapi tetap saja masih ada anak-anak yang tidak mampuh membayar uang sekolahnya, kalau anak itu malas sekolah maka guru yang gagal mengawal muridnya.

Politik Mengikis Kebersamaan Budaya di Maluku Utara

dokrin politik menjadi - jadi di setiap kampung yang ada di maluku utara , sesama saudara pun saling menanam benci walaupun sudah selesai pencoblosan , di kabupaten kepulauan sula misalnya, seperti kampung Waibau yang tak jauh dari pusat kota SANANA , dokrin politik masuk sampai ke rana matapencahrian masyarakan hingga menimbulkan konflik keluarga , tak tanggung - tanggung ruang kebencinan merasuki otak masyarakat , hanya tokoh politik mereka dan partai politik kesayangan mereka seakan di anggap RAJA atau NABI .

dokrin politik juga masuk ke menerobos ke dalam lingkaran AGAMA seperti yang terjadi di kampong SAGEA , ada seorang mahasiswa perikanan yang bernama adi mengatakan : waktu pemilihan BUPATI tahun lalu di kampung saya SAGEA ada warga yang meninggal waktu momen pemilihan bupati tetapi yang meninggal dari pendukung partai lain jadi pada saat waktu di sembayangkan mayatnya tak ada imam jadi di ambil imam dari kampung lain yang tak jauh dari kampung saya SAGEA , ini penyebab karna imam mesjid yang ada di kampung saya SAGEA tidak di pangil oleh pendukung dari partai itu ,alasannya karna si imam itu berbeda partai dan berbeda partai , istilanya partai merah dan partai kuning

hilang sudah persaudaraan yang di bentuk oleh leluhur kita , ini karena politik yang mengutamakan dokrin uang dan dokrin sukuisme,  seperti pemilihan gubernur tahun lalu di ternate seprti adu seni grafiti di tembok - tembok dengan bahasa politik juga nama dari calon gubernur sekaligus warna partainya , desaind boliho juga di tingkatkan , dokrin politik di ternate meningkatkan desain media propaganda dan juga greriti jalanan , sampai ke rana yang ABSTRAK atau komunikasi gaib , katanya setiap calon gubernur sudah punya dukun - dukun sakti untuk memenangkat pertarungan politik.

MARIMOI NGONE FUTURU 

istila dalam bahasa ternate ini seakan tak berguna saat pertarungan politik di maluku utara , kejadian bertambah dengan isu KELAPA SAWIT di halmahera , sekarang ini juga isu itu tersebar di telinga masyarakat yang ada di maluku utara, seandainya kalau perang politik dan isu kelapa sawit secara bersamaan timbul jadi perang saudara, kapan pemimpin kita memaknai kebersamaan yang telah di ajarkan oleh leluhur kita dulu , tentang filosofi alam yang se harusnya menyatu ke dalam agama, sosial dan pemerintahan di maluku utara.


Bentuk Nilai (Value Form atau Form of Value): Bagian 1

TOPIK ini, didedikasikan Marx untuk mendiskusikan tentang asal-usul munculnya uang (money). Tetapi, di sini ia tidak berbicara sejarah kemunculan uang, misalnya dari sistem barter, uang metal atau koin, emas, uang kertas, hingga uang elektronik seperti yang kita kenal sekarang ini. Apa yang ingin dijelaskannya adalah sejarah perkembangan dalam kaitannya dengan perkembangan hubungan konseptual dalam sistem kapitalisme. Misalnya, hubungan antara ‘bentuk sederhana dari nilai/simple form of value’ dan ‘bentuk uang/money form’ yang dominan dalam sistem kapitalisme (Heinrich, 2012:56). Karena itu, ia tidak memaksudkan penjabarannya ini untuk meyakinkan kita bahwa uang merupakan alat yang paling mumpuni untuk mengatasi keterbatasan dari pertukaran dalam bentuk barter, sebagaimana yang diajarkan kepada kita selama ini.
Mengikuti penjelasan Marx tentang topik ini, kita seperti diajak untuk berenang lebih dalam di lautan dialektika hubungan antara nilai-guna (use-value) -→ nilai (value) –→ dan nilai-tukar (exchange-value), atau hubungan dialektik antara relasi sosial yang tidak tampak (immaterial) dengan benda-benda yang tampak (material). Filsuf Paul Mattick Jr. (Moseley, 1993) mengatakan, di bagian ini sangat terasa bagaimana Marx begitu terpengaruh oleh Hegel, khususnya berkaitan dengan metode presentasinya dari yang tampak (appearance) menuju yang esensial (essence) dan kembali lagi ke bentuknya yang tampak (appearance). Dengan metode ini, Marx mengatakan bahwa bentuk uang adalah sesuatu yang muncul dari dalam logika kapitalis itu sendiri, bukan sesuatu yang datang dari luar atau terpisah darinya, seperti yang disimpulkan David Ricardo.
Berdasarkan atas diskusi-diskusi kita sebelumnya, maka secara sederhana metode presentasi tersebut bisa diringkas berikut:
  1. Bentuk material dari [komoditi] menampakkan dirinya dalam wujud nilai-tukar;
  2. Hubungan pertukaran antara [dua komoditi] selalu bisa ditampilkan sebagai sesuatu yang setara;
  3. [Persamaan ini mengatakan kepada kita] bahwa pada benda-benda yang berbeda itu eksis sesuatu yang sama dengan kuantitas yang setara …. Dimana kedua benda tersebut setara dengan entitas ketiga (yakni nilai) dan sejauh mereka memiliki nilai-tukar, dapat diturunkan pada benda ketiga tersebut;
  4. [Konsekuensinya] nilai-tukar yang valid mengekspresikan sesuatu yang setara. [Dan] nilai-tukar hanyalah corak ekspresi atau ‘bentuk yang tampak’ dari isi yang berbeda;
  5. [Karenanya] nilai-tukar komoditi-komoditi bisa diturunkan pada sesuatu yang kurang lebih sama;
  6. Sesuatu yang sama itu tidak bisa berupa …bentuk natural/alamiah dari komoditi, karena wujud tersebut hanya bisa dinilai sejauh mereka adalah nilai-guna;
  7. Jika kita mengabaikan nilai-guna komoditi, maka yang terus melekat pada komoditi itu adalah satu kualitas, bahwa komoditi tersebut adalah produk dari kerja, (bukan) kerja manusia dalam bentuk konkret (melainkan) kerja manusia dalam bentuk abstrak:
  8. Jika kita menilai [komoditi] sebagai kristalisasi dari substansi sosial yang sama, maka substansi sosial itu adalah nilai;
  9. [Maka dari itu] sesuatu yang sama yang menampakkan dirinya dalam nilai-tukar komoditi adalah nilai komoditi itu sendiri (Wood, 2004:235).
Narasi ini jika dibagankan akan berbentuk berikut (Harvey, ibid., 26):
Bagan 1.
Bagan2
Singkatnya, apa yang secara esensial hendak dijelaskan Marx melalui teori Nilai ini adalah, ‘kondisi pertukaran ditentukan oleh kondisi produksi, yang pada analisa akhirnya tercermin pada harga produksi (dalam kasus normal serta kondisi persaingan bebas dan sempurna) yang ditentukan oleh jumlah kerja dan kondisi-kondisi teknikal yang digunakan untuk proses produksi, yang oleh Marx disebut sebagai komposisi organik dari kapital (organic composition of capital)’ (Dobb in Howard & King, 1976:134).
Kini saatnya kita mendiskusikan soal Bentuk Nilai (Value Form atau Form of Value). Seperti dikemukakan di atas, dalam seksi ini tujuan utama Marx adalah menjelaskan asal-usul bentuk uang (Harvey, op.cit., 30), sekaligus menunjukkan bahwa bentuk uang (money form) adalah bentuk yang paling maju atau bentuk tertinggi dari bentuk nilai (form of value) (Hiroyoshi, 2005:115).  Dan untuk sampai ke bentuk uang, untuk bisa mengerti mengapa aktivitas kerja manusia mengambil wujud bentuk uang, dan bagaimana mekanisme itu bekerja, Marx melakukan empat tahapan perjalanan: pertama, bentuk nilai yang sederhana, terisolasi atau aksidental (The simple, Isolated, or Accidental Form of Value); kedua, bentuk nilai yang lebih luas (expanded  form of value); ketiga, bentuk nilai yang umum (general form of value); dan terakhir bentuk uang (money form). Dengan memulai dari bentuk nilai yang sederhana, Marx sengaja menjauhkan dirinya dari kebiasaan kaum fisiokrat dan para pengritiknya yang belum apa-apa sudah mendiskusikan tema-tema yang rumit dan kompleks, sementara masalah yang paling sederhana belum juga dituntaskan (Marx, 1989:57).
Dalam tulisan ini, saya mengajak Anda untuk mendiskusikan tentang bentuk nilai yang sederhana. Tetapi walaupun menggunakan istilah sederhana, soalnya tidaklah sederhana. Seperti ditulis Marx dalam suratnya terhadap Engels, bentuk komoditi sederhana ini mengandung keseluruhan rahasia dari bentuk uang (Cleaver, 2000:139), sehingga pengungkapan bentuk nilai sederhana ini akan memecahkan rahasia bentuk uang tersebut. Marx memulai penjelasannya dengan memaparkan bentuk komoditi sederhana melalui pertukaran dua komoditi tunggal yang berbeda, melalui persamaan berikut:
(1)  x commodity A = y commodity B, atau:
x commodity A setara (is worth) dengan y commodity B.
(20 yards linen = 1 jaket)
Mengapa Marx menggunakan contoh ini? Sebelumnya, Marx mengatakan bahwa komoditi terdiri atas dua aspek: nilai-guna dan nilai-tukar. Namun dalam pembahasan mengenai bentuk-nilai ini, ia mengatakan bahwa jika kita berbicara dalam pengertian yang ketat, maka komoditi sesungguhnya hanya mengandung dua aspek, yakni nilai-guna dan nilai. Tetapi, nilai ini tak mungkin bisa kita lihat atau sentuh pada satu komoditi tertentu yang terisolasi atau pada dirinya sendiri. Artinya, ketika kita melihat atau memiliki sepasang sepatu, maka yang pertama-tama kita ketahui dengan pasti adalah aspek naturalnya, yakni nilai-gunanya, bahwa sepasang sepatu tersebut berguna untuk melindungi kaki kita dalam berjalan atau dalam berlari.
Kita baru bisa mengetahui aspek nilai dari sepasang sepatu tersebut ketika ia dipertukarkan dengan nilai-guna barang yang lain. Nilai-guna barang yang satu dipertukarkan dengan nilai-guna barang lainnya, karena tanpa nilai-guna maka barang tersebut tidak bisa dipertukarkan atau diperjualkan. Karena, kata Marx, pada diri pemiliknya komoditi tidak memiliki nilai-guna; nilai-guna komoditi tersebut ditemukan pada orang lain, yakni pembelinya. Nah, dalam proses pertukaran itulah baru kita bisa mengetahui nilai dari komoditi, atau dengan kata lain, nilai terekspresikan atau termanifestasi melalui nilai-tukar. Dalam contoh Marx di atas, kita baru bisa mengetahui aspek nilai dari linen ketika ia dipertukarkan dengan jaket. Maka itu disebut, komoditi A menemukan ekspresinya yang independen serta manifestasinya yang konkret pada komoditi B. Dalam Capital, Marx mengatakan:
‘Linen mengekspresikan nilainya dalam jaket; jaket berperan sebagai bentuk material dari nilai yang diekspresikan. Komoditi pertama memainkan peran yang aktif, sementara komoditi kedua berperan pasif. Nilai komoditi pertama tercermin sebagai nilai relatif, dalam kata lain komoditi dalam bentuk nilai-relatif. Komoditi kedua memenuhi fungsinya yang ekivalen, dalam kata lain, komoditi dalam bentuk ekivalen’ (1990:139).[1]
‘Nilai relatif’ yang muncul dalam kalimat ini bermakna ‘sesuatu yang berhubungan dengan hal lain,’ bahwa komoditi ini (linen) adalah bentuk relatif dari nilai. Sementara, ‘ekivalen’ bermakna bahwa komoditi ini (jaket) adalah pembanding dari nilai komoditi pertama (linen). Hanya melalui proses inilah kita akan bisa mengetahui nilai dari linen, yaitu jika ia dihadapkan dengan jaket, sehingga jaket di sini disebut sebagai perwujudan dari nilai linen dan karenanya secara kuantitatif setara dengan jaket. ‘Karena itu,’ kata Marx,
‘di dalam hubungan-nilai, dimana jaket adalah ekivalen terhadap linen, bentuk dari jaket dianggap sebagai bentuk nilai (form of value). Nilai dari komoditi linen, dengan demikian terekspresikan melalui tubuh fisikal dari komoditi jaket, nilai yang satu melalui nilai-guna yang lain. Sebagai sebuah nilai-guna, linen adalah sesuatu dengan secara jelas berbeda dengan jaket; sebagai nilai, linen identik dengan jaket, dan dengan demikian tampak seperti jaket. Jadi, linen membutuhkan bentuk nilai yang berbeda dari bentuk naturalnya. Eksistensinya sebagai nilai termanifestasi dalam kesetaraannya dengan jaket…..’(Capital, 143).[2]
‘Dengan demikian, melalui hubungan-nilai, bentuk natural dari komoditi B menjadi bentuk-nilai dari komoditi A, dengan kata lain, tubuh fisikal dari komoditi B menjadi cermin bagi nilai komoditi A (Capital, 144).’ [3]
Berdasarkan pengertian ini, kini kita mengerti kenapa Marx menyebut nilai-tukar (exchange-value) sebagai bentuk nilai (form of value), karena nilai-tukar adalah bentuk yang tampak atau manifestasi dari nilai (Cleaver, 140).
Kini muncul pertanyaan, jika x commodity A = y commodity B apakah secara otomatis persamaan ini bisa dibalikkan atau dikontraskan? Marx menjawab: Tidak. Katanya, komoditi B tidak serta-merta menemukan ekspresi independen dan manifestasi yang konkret pada x komoditi A, atau y komoditi B tidak bisa secara otomatis menjadi bentuk relatif dari nilai dan x komoditi A menjadi bentuk ekivalen dari nilai (A <—–  B). Ilustrasi berikut mungkin bisa memperjelas maksud ini: Andi (A) adalah suami dari Dina (B) (A = B). Tentu saja adalah benar jika kita katakan bahwa Dina (B) adalah istri dari Andi (A) (B = A), namun menjadi keliru total jika kita katakan bahwa Dina (B) adalah suami dari Andi (A) (A <—– B).[4] Karena itu, Marx mengatakan, ‘komoditi yang sama tidak bisa secara simultan muncul dalam dua bentuk dimana ekspresi nilainya sama’ (Capital, 140). Kecuali persamaannya menjadi:
(2)  y komoditi B = x komoditi A
dimana y komoditi B menjadi bentuk relatif dari nilai, sementara x komoditi A menjadi bentuk ekivalen dari nilai.

Bentuk Nilai Sederhana dan Perjuangan Kelas

Dalam pembahasan mengenai bentuk-nilai ini, Marx betul-betul mendemonstrasikan konsistensinya pada metodenya sendiri. Di sini ia mengatakan, seperti pada nilai-guna dan nilai-tukar yang memiliki hubungan dialektis, yakni menyatu tapi sekaligus bertentangan (unity of the opposites), demikian juga dengan bentuk relatif dan bentuk ekivalen ini. Coba simak pernyataan Marx yang saya kutip agak panjang ini,
‘Bentuk relatif dan bentuk ekivalen dari nilai adalah dua momen yang tak terpisahkan, yang saling meliputi dan melengkapi satu sama lain; tetapi pada saat yang sama keduanya berhadapan secara eksklusif atau bertentangan secara ekstrim satu dengan yang lainnya, yakni ekspresi nilai yang bertentangan. Mereka selalu dipisahkan dalam dua komoditi yang berbeda yang dibawa ke dalam hubungan satu sama lain melalui ekspresinya. Saya tidak bisa, sebagai contoh, mengekspresikan nilai linen dalam linen. 20 yards linen = 20 yards linen dengan demikian bukan sebuah ekspresi nilai. Persamaan itu malah mengatakan hal sebalilknya: 20 yards linen tidak menununjukkan apa-apa kecuali 20 yards linen itu sendiri, sebuah jumlah tertentu dari linen yang dinilai sebagai sebuah obyek yang berguna. Nilai dari linen, dengan demikian, hanya bisa diekspresikan secara relatif, yakni pada komoditi  yang lain. Bentuk relatif dari nilai linen, dengan demikian, mengandaikan komoditi lainnya yang bertentangan dalam bentuk ekivalen. Dengan kata lain, komoditi yang lain yang berbentuk ekivalen ini, tidak bisa secara simultan menjadi bentuk relatif dari nilai. Ia bukanlah komoditi yang kedua, yang nilainya diekspresikan.. Ia hanya menyediakan bentuk material dimana nilai dari komoditi pertama terekspresikan,’ (Capital, 139-40).[5]
Untuk mengerti kutipan ini, mengacu pada contoh linen dan jaket, maka keduanya adalah produk yang berguna, yang diproduksi oleh kerja berguna (kerja konkret) yang terpisah satu sama lain. Tetapi, dalam hubungan pertukaran, kita lihat bahwa linen adalah bentuk relatif, sementara jaket adalah bentuk ekivalen, dimana kita hanya akan bisa mengetahui nilai dari linen melalui nilai-guna dari jaket dan karena itu keduanya tidak terpisahkan. Dalam bahasa Marx, komoditi A (bentuk relatif) ‘menyebabkan nilai-guna B berwujud material melalui nilainya sendiri yang terekspresikan’ (Capital, 144).
Tetapi, jika kita memahami topik ini secara apa adanya, maka yang kita temukan betapa Marx telah bertindak layaknya seorang akuntan: Anda dan saya sama-sama memiliki barang yang berguna dan kita bersepakat untuk mempertukarkannya. Saya menemukan nilai-guna pada barang yang Anda miliki, dan Anda menemukan nilai dari barang Anda melalui barang yang saya miliki. Persoalan selesai. Jika begini ceritanya, maka kita akan gagal dalam memahami maksud awal Marx ketika menulis Capital, yakni sebagai usaha untuk memahami bagaimana corak produksi kapitalis (capitalist mode of production) ini bekerja. Oleh karena itu, pembahasan kita mengenai topik ini harus ditempatkan dalam kerangka yang dimaksudkan Marx itu sendiri. Ini berarti, ketika kita membaca bentuk-nilai yang sederhana, kita mesti melihat bahwa pertukaran komoditi linen dan jaket ini esensinya adalah pertukaran antara dua kerja abstrak yang memproduksi linen dan jaket (lihat bagan 2).  Nah, dalam kapitalisme, kita tahu bahwa komoditi tidak dimiliki oleh buruh (bahkan buruh itu sendiri telah menjadi komoditi), tetapi oleh kapitalis. Artinya, ketika si kapitalis memperjualbelikan komoditi (dalam contoh ini linen dan jaket), maka ia sesungguhnya tengah memperjualbelikan kerja abstrak yang dimiliki buruh yang memproduksi linen dan jaket tersebut.
Bagan 2:
Bagan1
Sumber: Milios, Dimoulis, Economakis, p. 25
Apa artinya ini dengan hukum kesatuan yang saling bertentangan di antara bentuk relatif dan bentuk ekivalen yang dikemukakan Marx di atas? Dalam konteks bentuk-nilai, ketika buruh menjual tenaga kerjanya kepada kapital, maka posisi buruh di sini adalah bentuk relatif dari nilai, sementara kapital adalah bentuk ekivalen dari nilai. Dalam sistem produksi kapitalis, keberadaan kedua kelas ini saling membutuhkan sekaligus saling bertentangan. Seperti nilai-guna barang yang sama tidak bisa saling dipertukarkan, demikian juga keberadaan kedua kelas ini tidak bisa eksis jika satu di antara keduanya lenyap. Kelas buruh ada karena ada kelas kapitalis, jika tidak ada kelas buruh maka tidak akan ada kelas kapitalis. Tapi keduanya sekaligus saling bertentangan, karena buruh hanya memiliki tenaga kerja yang dijualnya kepada si kapitalis yang memiliki alat-alat produksi. Buruh kepentingannya adalah menuntut upah setinggi-tingginya, sementara si kapitalis kepentingannya adalah menekan upah serendah-rendahnya. Karena itu, meminjam parafrase Marx, dalam hubungan antara buruh dan kapital ini, tidak serta merta kapital kemudian menjadi buruh atau kapital otomatis menjadi bentuk relatif dan buruh menjadi bentuk ekivalen. Dalam bahasa yang lebih lugas, dalam hubungan itu, kapital tidak otomatis menjual tenaga kerjanya kepada buruh dan memperoleh pendapatan dari upah yang dibayarkan oleh buruh kepadanya. Atau seorang buruh yang kaya mendadak karena memenangkan undian berhadiah milyaran, tidak serta-merta posisi atau statusnya berubah menjadi kapitalis.
Sampai di sini, kita lihat keunikan dan kekuatan teori tentang bentuk nilai (value form) dalam bentuknya yang sederhana. Pada teori nilai, Marx mengajak kita untuk bertamasya dari analisa yang memfokuskan diri pada hubungan pertukaran menuju ke analisa hubungan produksi. Ia menunjukkan bahwa pertukaran di antara barang-barang di pasar pada esensinya merupakan penampakkan atau ekspresi dari hubungan pertukaran di antara para produsen barang-barang tersebut di sektor produksi. Melalui teori nilai, Marx mengatakan bahwa kita tidak akan bisa mengerti dengan baik apa itu kapitalisme, bagaimana cara bekerjanya, bagaimana proses eksploitasi yang berlangsung, jika kita hanya mengubek-ubek mekanisme pasar (distribusi, pertukaran, dan konsumsi).
Sementara pada seksi bentuk nilai ini, Marx melangkah dari hubungan produksi (nilai/esensi) menuju ke hubungan pertukaran (bentuk nilai/penampakkan). Melalui pergerakan metodologis dari dalam ke luar ini, Marx menunjukkan bahwa bentuk relatif dan bentuk ekivalen dari nilai adalah cerminan dari perjuangan kelas antara kelas buruh dan kelas kapitalis.

Minggu, 29 Maret 2015

Ekologi melalui metabolisme manusia dan alam

Kunci dari penjelasan ekologi Marx terletak pada elaborasi atas ide mengenai hubungan antara alam dengan manusia. Bagi Marx, relasi ini berproses layaknya metabolisme dimana kerja manusia menjadi mediasi utamanya. Dalam bukunya, Capital, melalui kerja, manusia berupaya untuk mengelola metabolisme antara dirinya dan alam. Akan tetapi dikarenakan relasi produksi serta pemisahan desa-kota yang antagonistik, proses metabolistik ini menciptakan apa yang disebutnya sebagai ‘keretakan yang tidak dapat diperbaiki’ (hal. 141). Dalam kerangka ‘keretakan metabolisme’ atas alam dan manusia inilah posisi ekologi Marx dibangun.

Penjelasan Marx mengenai ‘keretakan metabolisme’ ini dimulai dengan kritiknya terhadap teori populasi-lebihnya (overpopulation) Thomas Malthus. Teori Malthus, bagi Marx, sangat problematik dari dua sisi. Sisi pertama,  teori itu  tidak lebih sebagai ekspresi brutal dari kepentingan modal. Namun lebih dari pada itu, Mathus menganggap masalah populasi-lebih terjadi di semua epos masyarakat. Walau Marx mengakui keberadaan fenomena populasi-lebih dalam masyarakat-masyarakat sebelumnya, akan tetapi Marx mempertanyakan penolakan Malthus untuk melihat perbedaan spesifik yang ia anggap ada dalam formasi sosial yang berbeda yang terjadi di tiap fase berbeda perkembangan sejarah. Dalam hal ini, Marx menekankan pentingnya memperhatikan perbedaan modus produksi sosial yang  mendeterminasi perkembangan masyarakat yang kemudian mengondisikan fenomena populasi-lebih (hal. 143).
Konsekuensi dari pentingnya melihat perkembangan historis, membuat Marx harus melakukan pembongkaran atas rasio aritmatik yang menjadi pembenaran bagi keterbatasan sumber daya alam untuk menopang pertumbuhan jumlah populasi. Dalam hal ini, Marx kemudian mengarahkan pertanyaannya pada problem sumber daya alam yang pada saat itu banyak dielaborasi oleh tradisi ekonomi klasik melalui teori sewa tanah. Pada titik ini, gagasan ekonom klasik seperti David Ricardo, masuk ke dalam diskusi teoritis Marx tentang ekologi karena kontribusinya terhadap perkembangan teori sewa tanah pada saat itu. Marx dan Ricardo sejalan ketika melihat kesalahkaprahan Malthus, dimana bukan jumlah benih yang menyebabkan terjadinya kelebihan populasi, akan tetapi tingkat pengangguran. Namun Marx mencatat poin dimana, menurutnya, teori sewa tanah Ricardo sama dengan teori Malthus, karena keduanya sama-sama tidak memberikan perhatian teoritis yang cukup pada dimensi perkembangan historis.

Dari situ Marx kemudian mengalihkan pandangannya pada penjelasan James Anderson mengenai teori sewa tanah, yang menurutnya lebih superior dibandingkan Ricardo dan Malthus. Sewa, menurut Anderson, dikenakan untuk penggunaan tanah yang lebih subur. Kurangnya kesuburan tanah pada saat penanaman hanya cukup untuk menutupi biaya produksi, sementara tanah yang lebih subur menciptakan sewa tanah yang lebih besar. Perbedaan mendasar Anderson dibanding ekonom klasik sebelumnya adalah ia berpendapat bahwa tingkat kesuburan tanah ditentukan oleh perubahan historis seperti perkembangan teknologi dan cara produksi. Anderson menambahkan, kegagalan untuk mendorong peningkatan kesuburan tanah lebih banyak disebabkan oleh kegagalan untuk mengadopsi praktik agrikultur yang rasional dan berkelanjutan (hal. 145). Penjelasan Anderson ini memperkuat posisi Marx, sekaligus mengakhiri tendensi ekonomi politik abad 18 dimana tanah masih dilihat sebagai hal yang terpisah dari historisitas perkembangan masyarakat.
Namun, Marx mendapat petunjuk teoritis lebih lanjut mengenai masalah ekologis dalam kapitalisme ketika ia mempelajari studi Justus von Liebieg mengenai komposisi tanah.  Menurut Liebieg, pengetahuan agrikultur sebelum 1840an cenderung menekankan pada  peranan ternak dan ‘kekuatan laten’ tanah semenjak properti kimia dalam tanah belum diketahui pada saat itu, yang membuat kondisi nutrisi tanaman juga belum diketahui. Tidak heran, pada saat itu, kekuatan laten yang terkandung dalam tanah selalu dilihat sebagai sesuatu yang  terbatas dan dalam waktu yang bersamaan tidak dapat dirusak.  Dalam hal ini, pengetahuan kimia yang dikembangkan oleh Liebieg mampu untuk mengatasi keterbatasan yang ada pada saat itu. Kajian Liebieg mendorong penggunaan intervensi manusia yang lebih besar (melalui teknik kimia, tentu saja) pada tanah, sekaligus membuka kemungkinan yang luas untuk terjadinya revolusi pertanian.

Implikasi dari kajian Liebieg tentang penggunaan kimia pada tanah adalah terbukanya potensi yang luas bagi terjadinya degradasi tanah. Konsep ‘keretakan metabolisme’ yang diajukan Marx menjadi relevan di sini, karena kapitalisme dalam rangka menciptakan maksimalisasi keuntungan akan menggunakan teknik kimia sebesar-besarnya untuk mendorong tingkat kesuburan yang diharapkan. Atas nama keuntungan, tanah harus dieksploitasi melalui bahan-bahan kimia yang berimplikasi pada penurunan kualitas tanah itu sendiri. Dalam hal  ini, keretakan metabolisme dapat dipahami secara literal sebagai intervensi berlebih manusia pada alam sehingga mengakibatkan hubungan antara alam dengan manusia mengalami keretakan yang mengganggu proses relasi metabolistik antara keduanya. Pada tahun 1852, Marx menulis, ‘tanah menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan, dan eksploitasi tanah dilakukan berdasar pada hukum komersial yang berlaku…’ (hal. 156). Secara spesifik Marx memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hubungan antagonistik antara desa dengan kota, dimana tanah-tanah subur di pedesaan ‘dirampok’ dalam rangka mendukung industrialisasi.
Bagi Foster, konsep metabolisme adalah kunci bagi penjelasan mengenai ekologi Marx. Metabolisme dipahami langsung sebagai elemen dalam gagasan ‘pertukaran material’ yang mendasari proses terstruktur pertumbuhan dan pembusukan secara biologis.  Metabolisme digunakan sebagai cara untuk mendeskripsikan relasi manusia dengan alam melalui kerja. Dalam gagasan yang lebih luas, yang secara khususnya dijelaskan dalam Grundrisse, metabolisme yang dimaksud memiliki arti ekologis sekaligus sosial, dimana metabolisme manusia dengan alam yang rumit, kompleks serta saling terhubung dieskpresikan melalui organisasi konkrit kerja manusia dalam kaptialisme yang secara terus-menerus teralienasi. Dalam Manuskrip Ekonomi dan Filsafat tahun 1844, Marx menulis, ‘manusia hidup dalam alam atau alam adalah tubuhnya, dan ia harus mempertahankan dialog dengan alam jika manusia tidak ingin mati. Untuk mengatakan bahwa secara kehidupan fisik dan mental manusia terhubungkan dengan alam sama seperti mengatakan alam terhubung dengan dirinya sendiri, dimana manusia adalah bagian dari alam’ (hal. 158).

Akan tetapi penjelasan Marx ini tidak dapat dipahami sebagai suatu ekspresi romantik Marx tentang alam dan juga ekologi. Posisi Marx tentang metabolisme justru ekspresi atas gagasan alienasi terhadap alam yang berhubungan erat dengan alienasi atas kerja. Menurut Tim Hayward yang dikutip oleh Foster, gagasan metabolisme sosio-ekologis Marx menangkap aspek fundamental keberadaan manusia sebagai makhluk alam sekaligus sosial, dimana metabolisme diatur dari dari sisi alam melalui hukum alam yang melingkupi berbagai proses fisik, dan dari sisi masyarakat melalui insititusionalisasi norma yang mengatur pembagian kerja dan distribusi kekayaan (hal. 159).

Komponen yang esensial dari konsep metabolisme adalah adanya gagasan bahwa relasi ini adalah dasar yang membuat jaring interaksi kehidupan yang kompleks dapat berlanjut dan pertumbuhan menjadi mungkin. Dengan adanya ‘keretakan metabolisme’ keseluruhan dasar itu menjadi terancam eksistensinya dan selanjutnya kemudian mengancam kehidupan manusia secara lebih luas. Dari sini ide tentang ketidakberlanjutan kapitalisme mengemuka, karena relasi metabolistik manusia dan alam akan selalu berhadapan secara antagonistik akibat kepentingan kapitalisme untuk memaksimalisasi keuntungan.

ekologi politik sumberr daya alam TAKE HOME EXAM MATA KULIAH EKOLOGI POLITIK SUMBER DAYA ALAM* Yunindyawati/SPD/I363100011**

Pertanyaan:
1.      Tunjukkan dan jelaskan hal-hal apa saja yang terkandung dalam makalah Adiwibowo et al (2010) sehingga makalah tersebut dapat tergolong dalam ranah political ecology.
2.       Bryant pada paragraf terakhir di halaman 89 menuliskan sebagai berikut:
“To begin with, political ecology needs to go beyond the `land centrism' that has characterized most of the work done so far under its name………It is indeed curious that, although water is `essential material for maintaining bodily and social life', the political ecology of water quality
and availability is still only in its infancy (Swyngedouw, 1995:402)……… Yet unequal power relations are as likely to be `inscribed' in the air or the water as they are to be `embedded' in the land”.
Jelaskan apa yang dimaksud oleh Bryant di akhir kalimat dari paragrafdimaksud?
Jawab:
Untuk bisa menjawab kedua pertanyaan tersebut diperlukan pemahaman terhadap pengertian ekologi politik, bagaimana sejarah perkembangannya sehingga bisa menjadi diskursus ilmiah, focus dan ranah kajiannya seperti apa dan bagaimana bisa digunakan dalam praktik untuk melakukan analisis terhadap fenomena social, budaya,  politik, ekonomi dan lingkungan.
Dalam buku Critical Political Ecology, The Politics of Environmental Science, Tim Forsyth (2003), Bab 1 menjelaskan perdebatan tentang konsep ekologi politik, dan variasi perbedaan pendekatan  untuk memaknai “ekologi” dalam ekologi politik. Konsep umun ekologi politik yang diterima banyak kalangan adalah:
The social and political condition surrounding the causes, experiences and management of environment problem, (Blaikie, Brookfield,1987, Bryant 1992, Greenberg, Park 1994; Zimmerer, 2000) (dalam Forsyth 2003).
Sementara itu, Forsyth juga memberikan beberapa pendekatan dalam menjelaskan pengertian ekologi politik sebagai berikut:
Beberapa pendekatan untuk menjelaskan pengertian ekologi politik.
Sumber: diolah dari Forsyth, 2003
            Secara historis perkembangan ekologi politik dimulai dari antropologi budaya ke sosiologi lingkungan, dari sosiologi lingkungan ke ekologi politik. Pada akhir abad 20, investigasi teoritik yang mengkombinasikan sosiologi, antropologi dan ekologi menghasilkan persenyawaan baru social dan ecology (the dynamics of human-environment interaction) sebagai perluasan studi ekologi manusia. Pada kajian social ekologi ditelaah lebih lanjut mslah-masalah social dan hokum secara societal dinamycs yang terjadi sebagai konsekuensi perubahan ekologi di suatu kawasan.  Pada taraf lebih lanjut metamorfosa human ecology menghasilkan cabang ilmu baru sociology of human ecology (Miklin dan Poston, 1998 dalam Dharmawan 2007).
Cabang baru ini makin berkembang menjadi environmental sociology yang mulai dikembangkan secara meluas  oleh public academia sejak akhir abad 20 (Redclif dan Woodgate 1997 dan Dunlap et al 2002 dalam Dhamawan 2007).  Metamorfosa ekologi manusia tidak berhenti sampai disitu karena perjumpaannya dengan political economics, menghasilkan cabang keilmuan baru yang mulai banyak diminati para sarjana ilmu social, yaitu political ecology (ekologi politik) yang didominasi oleh tradisi pemikiran ala historical materialism Marxian dengan atmofter konflik yang sangat kuat (Forsyth 2003; Robbins 2004 dalam Dharmawan 2007).
Ekologi politik berdiri dari konsep-konsep sebelumnya (antropologi, sosiologi lingkungan, geografi, ekonomi, politik dll), karenanya ia merupakan tepi ilmu pengetahuan yang perlu dibangun (edge of science). Pertemuan antara ilmu social dan ilmu alam.
            Untuk dapat mendeskripsikan fenomena ekologi politik bisa dirunut dengan menggunakan pendekatan actor. Seperti tulisan Bryant dan Bailey dalam buku; The Third World Political Ecology tahun 1997 yang menekankan pendekatan actor dalam melihat kajian ekologi politik.  Buku ini berpijak pada konsep politicized environment  dan bahwa persoalan lingkungan  tidak terpisah dengan konteks ekonomi  dan politik .
Asumsi yg mendasari pendekatan aktor;
  1. Biaya dan manfataat yang dinikmati aktor tidak merata
  2. Distribusi biaya manfaat mendorong ketimpangan
  3. Dampak social ekonomi mempunyai implikasi politik
            Di sisi lain Fosyth menawarkan pendekatan kritis dalam mendiskripsikan fenomena ekologi politik. Pendekatan kritis  memfokuskan pada:
1.      Domination of nature terkait dg kapitalisme penyebab degradasi
lingkungan
2.      Pendekatan baru bersifat post structuralist,  pengaruh sejarah dan budaya
thd evolusi konsep perubahan dan degradasi lingkungan sbg kekuatan linguistik & politik
3.      Mengkritik konsep balance of nature, equilibrium ecology, 
environmental ortodox
Membicarakan ekologi politik tidak bisa lepas dari sumber-sumber politik yang bisa memberi pengaruh pada perubahan lingkungan. Sumber-sumber tersebut antara lain; pengetahuan, kebijakan/policy, gender, ekonomi, diskursus dan lainnya.
Berdasar uaraian di atas akan dijawab pertanyaan ujian sebagai berikut:
1.      Tulisan Adiwibowo et al (2010)berjudul Contested Devolution: The Political Ecology of Community-Based Forest Management In Indonesia 
Tulisan ini membahas tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat sebagai upaya aplikasi ekologi politik pada tiga kasus yakni kasus Hutan Damar di Krui, Sumatera Barat, Tanaman Hutan rakyat di Konawe di Sulawesi Tenggara, dan masyarakat konservasi di Taman Nasional Lore Lindu.
Tulisan ini mencoba melakukan kritik atas konsep Ostrom dan pengikutnya yang memahami bahwa dengan adanya property right dalam hal ini melalui devolusi akan terbentuk tindakan kolektif yang akan berjalan dengan baik. Akan tetapi tulisan ini menyajikan konsep yang berbeda dimana bukan hanya property right saja yang bisa menyelesaikan persoalan kehutanan tetapi konteks yang lebih luas dan kompleks yang juga akan mempengaruhi devolusi. Seperti konsep teori akses dari Ribbot dan Peluso yang disitir memperlihatkan dalam hal pengelolaan hutan, individu atau kelompok tertentu bisa mendapatkan keuntungan dari pengelolaan hutan dengan memiliki hak ataupun tidak memiliki hak pengelolaan hutan.
Hal ini menunjukkan bahwa persoalan penyerahan hak dan tanggung jawab dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam tiga kasus yang diteliti bisa dianalisis dari berbagai dimensi; akses dan control terhadap sumber daya (bisa melalui pengetahuan, kekuasaan dll), hak, kewenangan, kontestasi actor, relasi kekuasaan pusat daerah, user, individu dan kelompok tertentu.
Tulisan ini masuk dalam ranah kajian political ekologi. Secara sederhana bisa dilihat dari;
1.      Pilihan judul yang diambil yaitu kontestasi penyerahan hak dan tanggungjawab: politik ekologi pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
2.      Kerangka analisis yang digunakan kental dengan konsep ekologi politik seperti; legal right, property relation, actual power, democratic governance, forest policy processes, transfer of wealth and power, sustainability issues.
3.      Ranah/objek kajian adalah menyangkut aspek fisik lingkungan dalam hal ini hutan dan pengelolaannya (terdapat kontestasi dalam devolusi)
Secara spesifik hal-hal yang terkandung dalam tulisan yang bisa menunjukkan bahwa tulisan ini masuk ranah political ekologi (merujuk pada pendekatan ekologi menurut Forsyth: 2003) antara lain terlihat pada:
a.       Adanya interaksi antara Negara, actor non Negara dan lingkungan fisik:
Seperti  ditunjukkan pada kasus Krui dimana perubahan regim dari orde baru yang memiliki kebijakan kehutanan dimana hutan adalah milik Negara diganti secara fundamental. Di sana ada interaksi antara negara (regim) ada masyarakat local dan lingkungan fisik yakni hutan Damar
b.      Terdapatnya gerakan ekologi atau gerakan hijau
Seperti ditunjukkan pada kasus Taman Nasional Lore Lindu dimana ada uapaya konservasi berbasis pengetahuan local, tradisi, kebiasaan, nilai-nilai dan institusi local desa Toro di Sulawesi Tengah.
c.       Adanya interaksi proses biofisik, kebutuhan manusia dan sistem politik yang lebih luas.
Seperti ditunjukkan pada kasus Hutan Tanaman Rakyat di Konawe Selatan propinsi Sulawesi Tenggara. Terdapat interaksi antara biofisik (hutan) dengan kebutuhan manusia (sebagai base livelihoods masyarakat) dan sistem politik yang lebih luas yakni NGO, TFT, KHJL, JAUH, FSC, CPF.
d.      Memuat analisis distribusi hak dan sumber daya
Seperti diutnjukkan pada kasus Ijin Usaha Pemanfaaatan Hasil Hutan Rakyat di Konawe selatan. Terdapat skema  keadilan distribusi keuntungan di KHJL.
e.       Adanya interaksi  interdependensi individu, komunitas, alam dan national  
Misalnya pada kasus Konawe NGOs mengadvokasi dan memandu KHJL untuk memanegemen hutan, kapasitas teknis, membuka akses pasar.
2.      Yang dimaksud Bryant di akhir kalimat paragraf yaitu: bahwa intinya ekologi politik tidak boleh berhenti pada batas titik tertentu tetapi perlu terus di dorong kepada hal-hal yang baru. Ekologi politik tidak hanya sebatas membahas persoalan lahan yang selama ini dicitrakan sebagai kajian ekologi politik berkaitan dengan tanah/lahan. Oleh karena itu selain tetap melakukan  kajian terhadap masalah perubahan lingkungan berkaitan dengan lahan perlu di perluas pada perubahan lingkungan berkaitan dengan perubahan kualitas udara dan air.
Selama ini kajian tentang perubahan kualitas air dan udara yang dikaji dengan analisis politis masih sangat sedikit. Padahal, terdapat ketidakseimbangan relasi kekuasaan dalam hal perubahan kualitas air dan udara sebagaimana terjadi pada kasus ketidakseimbangan relasi kekuasaan dalam pengaturan dan pemilikan lahan.
Mengapa Bryant menuliskan paragraph tersebut? Hal ini dilakukan
berdasarkan review bagaimana kekuasaan, pengetahuan dan ekologi politik di Negara dunia ketiga. Menurutnya ekologi politik yang dilakukan untuk menguji dinamika politik sekitar materi dan perjuangan diskursus atas lingkungan. Perhatian khusus diberikan pada cara-cara dimana konflik atas akses terhadap sumber daya lingkungan dikaitkan dengan control sistem politik dan ekonomi.
Tulisan ini menekankan pada marginalisasi dan kerentanan orang miskin sebagai hasil dari sejumlah konflik.  Akibat dari persepsi dan diskursus  masalah lingkungan dan intervensi juga digali untuk memandu debat tentang kebaikan relative dari pengetahuan local dan ilmu barat. Penelitian ekologi politik selanjutnya perlu juga untuk memusatkan perhatian pada isu-isu yang berhubungan dengan perubahan kualitas udara dan air, proses pengkotaan, atribut organisasional dan tubuh manusia.
            Apa yang diungkapkan Bryant sejalan dengan epistemology ekologi politik dimana ekologi politik berdiri dari konsep-konsep sebelumnya, karenanya ia merupakan tepi ilmu pengetahuan yang perlu dibangun (edge of science).
Membangun ekologi politik sebagai entitas ilmu yang dinamis,perlu memahami ruang lingkup, landasan etik dan konsep yang relevan tiga bidang ilmu serumpun, seperti pada table berikut:

No.
Elemen pembeda
Ekologi Manusia
 Sosiologi Lingkungan
Ekologi Politik
01.
Unsur yang salingberinteraksi
Manusia (human system) dan alam-lingkungan (system ecologi)
Sistemsosial dan sistem ecologi (sumberdaya alam dan lingkungan) atau (socio)-culture vis a vis nature
Negara, swasta dan masyarakat sipil à setiap ensitas membawa kepentingan yang berbeda atas eksistensi alam
02.
 Moda interaksi anta unsure
Sustanence needs fulfillment, pertukaran,, dan perjuangan untuk mempertahankan hidup (survival needs)
Penguasaan, produksi, dan reproduksi social-budaya dan ekonomi berbasiskan pada kelimpahan berkah alam
Exercise of power and authority & power struggle dalam pengelolaan,pemanfaatan konservasi,  dan advokasi terhadap alam
03.
Obyek interaksi
Materi, energy, dan informasi
Materi, energy, informasi, modal, uang, wewenang, kekuasaaan/pengaruh, pranata social
Kepentingan/interest politik
04.
Outcome interaksi
Konfigurasi budaya-ekologi à sebagai hasil dari proses adaptasi ekologis yang panjang
Konfigurasi hubungan social antar pihak à bentuk dinamika yang terbangun sesuai setting alam
Konfigurasi tata-pengaturan politik sumberdaya alam dan lingkungan
05.
Kondisi ideal capaian interaksi
Kesetimbangan hubungan manusia-alam yang mantap
Struktur dan proses social yang mantap antara sistem ekologi serta antar sistem social yang berbeda kepentingan
Sistem eko-sosio-politik yang mantap
06.
Aras analisis
(biasanya) mikro à komunitas local
Mikro (komunitas local, meso (kota-desa-daerah aliran sungai/DAS, hutan), makro (Negara dan global)
Meso (desa, kota, DAS, hhutan), dan makro (Negara dan global).
07.
Mazhab teori social dominan ditemukan
Pertukaran, jaringan, konflik, kulturisme.
Konflik, kritis, structural-fungsional, pertukaran, jejaring, utilitarian
Konflik dan aliran kritis
08.
Akar keilmuan
Antropologi budaya dan ekologi-biologi
Ekologi manusia dan sosiologi
Ekologi manusia, sosiologi lingkungan,dan ekonomi-politik

Sumber: Darmawan, 2007.
            Dengan memahami ruang lingkup, landasan etik dan konsep-konsep tersebut pengembangan ekologi politik akan memiliki focus yang memiliki ciri khas dan berbeda dari ilmu yang lainnya. Yang lebih penting lagi sebagai sebuah ilmu perlu senantiasa mendapatkan kritik dan auto kritik sehingga proses dialektika berjalan demi perkembangan ilmu itu sendiri.
            Hal ini dilakukan karena diskursus ilmu pengetahuan, senantiasa bertalian dengan kekuasaan. Semakin diskursus mampu menjadi wacana global makaia mampu memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi individu kelompok masyarakat Negara bahkan dunia. Mungkinkah ekologi politik mampu menjadi wacana yang memiliki kekuatan dan kekuasaan global sehingga diskursus ekologi politik mengalami metamorfosa dari: antropologi (ekologi manusia) menuju sosiologi lingkungan menuju ekologi politik dan menuju Global ecosociology?
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, Soeryo. 2007.  Ekologi Manusia. Part. Tulisan Dharmawan: Bogor;
FEMA IPB.
Adiwibowo, Soeryo. Et al. 2010. Contested Devolution: The political Ecology of
Community-Based Forest Management In Indonesia. Jurnal  dalam proses
penerbitan.
Bryant.L. Raymond & Bailey.Sinead. 1997. Third World Political Ecology.
London, NewYork: Routledge.
Bryant. L. Raymond. 2008. Power, Knowledge and Political Ecology in Third
            World: A Review. Progress in physical Geography 22,1 (1998) pp79-94
Forsyth, Tim. 2003. Critical Political Ecology, the politics of environment, London  
and New York: Routledge.