Minggu, 29 Maret 2015

EKOLOGI POLITIK DALAM KEARIFAN BUDAYA LOKAL TERHADAP PELESTARIAN ALAM Oleh: Irham Falahudin[1]

Indonesia memimpin dalam hal keanekaragaman hayati hewan dan tumbuhan. Keanekaragaman hayati telah banyak memberikan keuntungan bagi Indonesia. Masyarakat di seluruh nusantara membutuhkan dan mengumpulkan bahan pangan, air, mineral dan sebagainya dari hutan, perairan dan laut. Perekonomian nasional yang menghasilkan devisa dari sektor wisata alam, perdagangan sumber daya alam dan sumber daya laut. Indonesia diberkahi sumber daya alam yang melimpah. Pemanfaatan sumber daya alam berperan penting untuk pertumbuhan ekonomi. Tetapi pemanfaatan yang berlebihan akan merusak alam  sendiri, hal ini sejalan firman Allah dalam surat Ar-Ruum: 41, yang artinya Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Ketika populasi manusia tumbuh hingga mencapai suatu jumlah yang sangat besar, dengan ruang yang terbatas, aktivitas dan kemampuan teknologi kita dalam satu dan lain hal telah mengganggu dinamika keanekaragaman hayati dalam sebagian ekosistem, maka ini menjadi suatu tantangan bagi bangsa Indonesia. Tantangan tersebut adalah bagaimana menyelaraskan antara kepentingan pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian serta konservasi eksosistem dengan peraturan perundang-undangan lingkungan (kebijakan politik).
 Di beberapa negara termasuk di Indonesia, perencanaan pembangunan ekonomi dan pemanfaatan lahan yang buruk telah mengakibatkan degradasi dan masalah lingkungan yang serius dan mengganggu sebagian besar wilayah dan daerah di dunia saat ini. Sebagai contoh longsor, banjir, pencemaran air, pencemaran udara danlainsebagainya yang dapat merusak ekosistem akibat kebijakan politik ekologi yang dibuat.
Setiap hari manusia, selalu berhadapan dengan kegiatan dan aktivitas yang mengarah kepada lingkungan sekitarnya. Kemampuan manusia itu selalu dilakukan atas dasar keinginan akan kebutuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan hidup ini, seringkali berbenturan dengan aturan yang berkaitan dengan ekologi, politik dan kebudayaan. Oleh karena itu  peran ilmuwan sains sebagai akademisi dan pemerintah sebagai eksekutif yang mengeluarkan kebijakan politik dalam bidang ekologi sangat diperlukan, untuk mengarahkan kegiatan manusia modernnya ke arah pelestarian alam, dengan mempertahankan kegiatan masyarakat tradisonalnya sebagai wujud dari kearifan lokal untuk menjaga keseimbangan alam.
Untuk mengantisipasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat tersebut diperlukan berbagai pendekatan. Selain pendekatan ke masyarakat dan budaya juga pada tataran stakeholder. Salah satunya adalah kebijakan politik, yang dikenal dengan politik ekologi. Pengertian ekologi politik dalam tinjauan ini adalah sebuah perspektif yang memadukan ekologi politik dan teori kebudayaan terhadap kearifan lokal. Sejumlah teori yang terkait dengan ekologi budaya digunakan dalam perspektif ini. Teori-teori tersebut adalah teori ekologi-politik, environmentalism, liberal environmentalism.  Pendekatan ekologi politik dalam kearifan lokal, teori-teori tersebut dipadukan dengan ekologi politik,  yang di dalamnya mencakup pula teori biogeografi, ekologi budaya, dan ekonomi politik.
Sementara itu, ekologi politik berkembang sebagai sebuah pendekatan baru terhadap interaksi manusia dan lingkungan dalam perkembangan wacana pada tahun 1990-an. Meskipun sebenarnya menurut pengamatan Jon Schubert, ekologi politik telah muncul dalam sejumlah studi sejak tahun 1970-an, namun saat itu istilah tersebut belum digunakan. Sebelum ekologi politik muncul, Schubert mencatat bahwa terlebih dahulu berkembang ekologi kultural yang sumbernya ditarik dari antropologi (Schubert, 2005). Ekologi kultural ini berusaha mengkaji proses adaptasi budaya dan masyarakat terhadap lingkungan.
Menurut Steward, dalam Theory of Culture Change; The Methodology of Multilinear Evolution, proses adaptasi budaya dan masyarakat dipengaruhi oleh penyesuaian dasar yang dilakukan manusia dalam menggunakan lingkungannya (Wikipedia, 2007). Ditambahkan pula oleh Forsyth yang dikutip Schubart, dalam ekologi kultural diamati pula praktik kultural (termasuk ritual keagamaan), dan pola perilaku serta praktik sosial yang dipertajam oleh situasi lingkungan atau berperan sebagai pengatur stabilitas lingkungan (Schubert, 2005). Lebih jauh lagi, menurut Peets dan Watts, ekologi kultural berfokus pada apa yang dinamakan pengetahuan etnoilmiah (ethnoscientific knowledge). Pengetahuan ini merupakan strategi penggunaan sumber daya dari komunitas subsistensi masyarakat adat (indigenous) secara tradisional yang tidak menggunakan pengetahuan agro-ilmiah.
Untuk itu dalam tulisan ini, akan dibicarakan bagaimana hubungan ekologi politik dalam kaitannya dengan kearifan lokal dalam kebudayaan masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman bagaimana tinjauan teoritis dan praktis dalam teori ekologi politik dalam ekologi budaya terhadap kearifan lokal masyarakat.
  1. B.     Definisi Operasional Konsep Ekologi Politik, Ekologi Budaya dan Kearifan Lokal
Ekologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu oikos yang artinya rumah atau tempat hidup, dan logos yang berarti ilmu. Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Ilmu ekologi pada dasarnya menjelaskan hubungan antara organisme -tumbuhan maupun hewan- dengan lingkungannya. Hal ini dikemukakan batasan ekologi menurut Soemarwoto (1985), sebgai berikut: secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup. Lebih lanjut Soemarwoto membuat tiga batasan ekologi yaitu unsur berkeanaan dengan organisme, hubungan dan lingkungan.Sifat setiap benda hidup dimengerti dari segi hubungannya. Bukan hanya dengan alam secara fisik -termasuk tanah, air dan iklim- tetapi juga dengan benda hidup lain dalam suatu pola saling ketergantungan yang dinamakan ekosistem. Contoh ekosistem dari Sumatera adalah hutan tropis dataran rendah, hutan mangrove, sungai, lahan basah atau lahan gambut.
Ekologi berkepentingan dalam menyelidiki interaksi organisme dengan lingkungannya. Pengamatan ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip yang terkandung dalam hubungan timbal balik tersebut. Dalam studi ekologi digunakan metoda pendekatan secara rnenyeluruh pada komponen-kornponen yang berkaitan dalam suatu sistem. Ruang lingkup ekologi berkisar pada tingkat populasi, komunitas, dan ekosistem.
Kata politik dapat berarti pengetahuan tentang ketatanegaraan atau segala urusan/tindakan yang bersifat kebijakan atau siasat danlainsebagainya (KBBI, 2003). Sehingga ekologi politik dapat diartikan sebagai kebijakan pemerintah kaitannya dengan lingkungan dalam proses ekologi kultural terhadap kearifan lokal. Ketika ekologi kultural dianggap terlalu teknis, ahistoris, dan sederhana, maka mulailah ekologi politik muncul. Andrea Nightingale mencatat beberapa isu penting dalam ekologi politik. Menurutnya ekologi politik menekankan pentingnya mengkaji hubungan antara isu lingkungan lokal dan proses ekonomi politik global. Termasuk di dalamnya adalah mengkaitkan produksi kapitalis dengan lokalitas-lokalitas yang berbeda, yang dihubungkan dengan eksploitasi sumber daya untuk subsistensi maupun profit. (Andrea Nightingale, 027).
Ekologi Kultural adalah proses adaptasi budaya dan masyarakat yang dipengaruhi oleh penyesuaian dasar yang dilakukan manusia dalam menggunakan lingkungannya. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari Pasal 1 (30) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketiga konsep di atas, jelas terlihat bagaimana dominansi manusia terhadap lingkungannya. Hal ini berkaitan erat dengan kehidupan alami masyarakat terhadap ekosistem di sekitarnya.
Dari pengertian konsep ekologi politik dan kultural budaya di atas, maka perubahan situasi politik, social, ekonomi dan budaya di Indonesia yang terjadi bersamaan dengan krisis multidimensi dalam beberapa tahun terakhir ini, dan telah mendorong terjadinya perubahan mendasar arah pengolahan hutan. Hutan langsung menghadapi tekanan secara sosial yang sangat kuat sebagai refleksi fenomena sosial sebelumnya. Dengan mempertimbangan perubahan tersebut dan dipadukan dengan kepentingan politik dan masyarakat atau daerah, sehingga fungsi hutan yang harusnya menyangga lingkungan harus dapat dipenuhi.
Dengan berlakunya UU No 49 tahun 2009 tentang kehutanan dan UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi daerah, maka secara yuridis formal terjadi perubahan kebjikan politik dalam ekologi yang tidak bias di hindarkan. Selain itu UU No 41 tahun 1999 juga tentang pengelolaan hutan, artinya bagaiamana keanekargaman hayati secara local dan nasional dapat dilestarikan, sehingga pengelolaan sumber daya alam terutama hutan dapat berlandaskan pada community based management dengan upaya memfasilitasi aspirasi dan kebutuhan stakeholder, khususnya bagi masyarakat sekitar hutan.
  1. C.    Hubungan Konsep Ekologi Politik dengan Ekologi Kultural terhadap Kearifan Lokal  
Bidang ekologi politik muncul ketika para ahli lingkungan mulai mengandalkan konsep-konsep ekonomi politik yang berasal dari kepedulian strukturalis dan materialis. Pendekatan yang dihasilkan membantu mengungkapkan kaitan-kaitan antara dinamika lingkungan setempat dengan proses politik dan ekonomi yang lebih luas (Peet and Watts, 1996; 2004). Terobosan analitis ini memungkinkan para ahli ekologi politik untuk menelusuri dengan teliti, misalnya, kaitan-kaitan antara masalah degradasi tanah setempat dan masalah-masalah lebih luas seperti kemiskinan, ketunakismaan (landlessness), keterbelakangan, hubungan neo-kolonial, dan marjinalisasi politik dan ekonomi (Blaikie and Brookfield, 1987). Berangkat dari ranah studi pembangunan kritis (critical development studies), studi ekologi politik menilai bahwa keputusan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa dipahami hanya dari sudut pandang teknis yang memprioritaskan efisiensi saja tetapi juga aspek manusia dan budaya dalam hal pengendalian, kekuasaan dan pengawasan terhadap kuantitas dan kualitas sumberdaya alam.
Salah satunya adalah manusia sebagai ekologikal kultural, tidak bisa melepaskan diri dari konteks keruangan. Hal ini diatur dengan peraturan tata ruang wilayah oleh pemerintah. Ruang bumi bukanlah fenomena statis, melainkan dinamis, salah satu faktor pengubahnya adalah manusia. Jika dibandingkan dengan umur bumi, maka umur manusia relatif sangat muda (sekitar 1-2 juta tahun yang lalu, dibandingkan umur bumi 4,8 milyar tahun yang lalu). Perubahan ini semakin cepat sejak bergulirnya revolusi industri mulai abad ke XVII ( Sumaatmadja, 2000). Banyak literatur telah dicurahkan untuk menggambarkan batas-batas ekologi politik, yang lebih baik digambarkan sebagai suatu ‘pendekatan teori’ daripada sebuah ‘teori’, untuk mengasah kategori-kategori konseptualnya yang dipinjam terutama dari geografi dan antropologi, dan untuk memperdalam analisisnya dari perubahan lingkungan kontemporer di seluruh dunia. Selama periode ini, beberapa kritik telah diarahkan pada pustaka ekologi politik. Mengingat sifatnya yang lintasdisiplin dan integratif, sebagian besar kritik ini telah dirumuskan dalam bentuk ‘terlalu banyak’nya atau ‘tidak cukup’nya komponen konseptual atau disiplin tertentu. Beberapa pengamat berpendapat bahwa ekologi politik telah tersesat terlalu jauh ke arah analisis kekuasaan dengan mengorbankan pemahaman ekologi yang jelas dan rinci (Vayda and Walters, 1999; Zimmerer, 2000). Sebagai contoh, Walker (2005) menantang kemampuan ‘ekologis’ dari ekologi politik, dengan tidak hanya mengeluh dalam structural belaka, tetapi bagaimana memahami perubahan alam akibat politik ekonomi.
Dalam beberapa dekade terakhir milenium, hampir semua ekosistem di Sumatera mengalami gangguan berat, bahkan sangat berat. Ini terutama berhubungan dengan eksploitasi yang jauh melebihi daya dukung. Konversi hutan menjadi perkebunan pada areal yang sangat luas merupakan contoh gangguan berat ekosistem hutan tropis Sumatera. Akibatnya, ekosistem hutan di Sumatera terdegradasi dan akhirnya terfragmentasi ke dalam blok-blok kecil yang saling terisolir. Ekosistem yang pada awalnya luas dan stabil, menjadi terkotak-kotak dan sangat rawan terhadap gangguan baru.
Sebenarnya hampir tidak ada lagi ekosistem yang tidak dipengaruhi secara nyata oleh kegiatan manusia. Misalnya, jika dalam keadaan normal hutan tropis basah tidak terbakar walaupun dalam kemarau panjang, tetapi setelah terdegradasi oleh logging berlebihan akhirnya terbakar juga, seperti yang dialami dua tahun lalu. Jadi ekologi bumi sekarang boleh dikatakan sudah menjadi masalah ekologi manusia. Tetapi secara konseptual, ekologi manusia itu apa?
Manusia, menurut ilmu biologi, memang jenis mamalia yang pada prinsipnya dapat dipandang sebagai unsur hewani dalam ekosistemnya. Dan pandangan ini tentu berlaku untuk masa evolusi spesies leluhur manusia, paling tidak sampai munculnya Homo sapiens (subspesies kita sekarang), sekitar 150.000 tahun lalu. Dengan munculnya subspesies ini, dengan kapasitas intelektual dan budaya lebih besar, pengembangan teknologi dan organisasi semakin menonjol. Namun, konsekuensinya pada lingkungan hidup masih terbatas sebelum manusia mulai mentransformasikan alam lewat pertanian sekitar 10.000 tahun yang lalu. Bahkan masih juga terbatas di mana pertanian masih dilakukan secara sederhana, seperti perladangan berpindah, pada kepadatan penduduk sangat rendah sehingga proses-proses alami termasuk regenerasi masih dominan dan berjalan baik.
Selain itu konsep man ecological dominant yang dikemukakan oleh Hendri J. Warman (Gabler, 1969: 13-16), merupakan konsep yang cocok dengan kenyataan  perubahan ruang dan tata ruang yang dikembangkan oleh manusia. Karena faktor manusia dan budaya, khususnya penerapan IPTEK dalam memanfaatkan ruang muka bumi, yang dapat kita saksikan perubahan yang sangat cepat terhadap perubahan ruang dan waktu tersebut (Sumaatmadja, 2000: 4). Sehingga konsep ekologi politik yang diterapkan oleh pemerintah seharusnya memperhatikan  kemampuan manusia terutama masyarakat terhadap daya dukung (carrying capacity) terhadap ruang tersebut sehingga tidak berdampak negatif. 
Teori ekonomi yang dikemukakan oleh Thomas Robert Malthus sejak berabad-abad yang lalu, pada saat sekarang terlihat bahwa pertumbuhan populasi dunia meningkat dua kali lebih banyak dari jumlah pertumbuhan pangan yang tersedia. Makroekonomi terutama berkaitan erat dengan penjelasan terhadap aktivitas ekonomi di semua tingkatan, fluktuasi dan laju pertumbuhannya atau resesinya. Makroekonomi dan mikroekonomi juga berkaitan dengan alokasi sumber daya dan makroekonomi dengan faktor-faktornya yang mengatur aktivitas secara keseluruhannya Aukcley, 1961 dalam Polunin, 1987. Akibat “taksnomi” tersebut ada tarik menarik antara ekologi dan ekonomi.  
Walaupun beberapa ekologis politik telah membahas isu ini, mereka sekali lagi hanya membatasi diri pada dimensi ekologi. Argumen Ramachandra Guha (2000) dan Martinez-Allier (2003) tentang ‘environmentalismenya kaum miskin’ sebagai contoh, mengakui bahwa rakyat miskin memiliki konsep dan praktek etika lingkungan yang berbeda dengan orang kaya karena naluri ‘konservatif’ mereka. Dengan kata lain, bahwa orang miskin adalah pemerhati lingkungan karena kehidupan dan ketahanan mereka bergantung pada pengawetan bukan hanya dari lingkungan fisik di sekitar mereka (contoh: tanah untuk pertanian) tetapi juga mata pencaharian nafkah dari lingkungan itu (contoh: cara-cara bertani tradisional). Akan tetapi, ini hanya menggambarkan sebagian saja dari kenyataan. Aspek yang tidak diuraikan jelas oleh Guha dan Martinez-Alier, dan yang selalu gagal dikoreksi kaum ekologis politik, adalah dimensi pembangunan dalam etik konservatif ini. Adalah sebuah kesalahan jika kita mengasumsikan bahwa orang miskin mengawetkan sumber alam semata-mata untuk berjuang bertahan hidup. Perjuangan bertahan hidup dalam konteks ini bukanlah sebuah tujuan sendiri. Lebih dari itu, perjuangan bertahan hidup adalah cara untuk mempertahankan aspirasi pembangunan. Memilih konservasi sambil menolak proyek-proyek pembangunan tertentu tidak berarti penolakan pembangunan secara umum . Pilihan dan penolakan meraka hanya mengarisbawahi ketiadaan sebuah visi pembangunan alternatif yang bersifat emansipatori dan realistis, yang bisa menggantikan dominasi visi neo liberal.
Dampaknya adalah  manusia mempunyai kekuasaan untuk menguasai alam sepenuhnya, tanpa menghiraukan keadaan lingkungan, budaya lokal dan kearifan lokal yang berlaku. Politik yang dilakukan oleh manusia terhadap alam, juga tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya. Pada hal, manusia sebagai makhluk Tuhan dan makhluk yang berbudaya mempunyai interaksi dengan lingkungannya. Ada sebagian kecil manusia yang melakukan ekologi politiknya yang berwawasan kearifan lokal dalam penyelamatan hutan. Kondisi tersebut adalah keniscayaan, seperti hutan rawa-gambut tropis di Sumatera, Kalimantan dan Papua semakin berkurang. Luas hutan rawa-gambut (forestswamp) Indonesia saat ini seluas 26 juta hektar. Hutan rawa-gambut Sumatera pada 10 tahun silam masih seluas 7,2 juta hektar, kini tinggal 6 juta hektar.   Berkurangnya luas hutan rawa-gambut Sumatera sejalan dengan 20% emisi karbon yang dilepas dari proses deforestasi dan degradasi hutan akibat kebakaran, alih fungsi dan pemanfaatan lain dari hutan (termasuk hutan rawa-gambut) di Indonesia (WWF, 2008). Sejak revitalisasi kehutanan dan pertanian (ekstensifikasi lahan) di 2004, hutan rawagambut saat ini diperuntukkan bagi perluasan perkebunan sawit, hutan tanaman industri (dan hutan tanaman rakyat pola kemitraan), pertambangan dan lahan-lahan tanaman untuk bahan bakar nabati (minyak sawit dan jarak) (Anonim, 2009). 
Hampir dari seluruh aktivitas penghidupan masyarakat lokal (adat) di kawasan rawagambut tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Bahkan ada beberapa pengetahuan masyarakat berguna bagi perlindungan dan pelestarian lingkungan semisal Smong di Semelue-Aceh. Secara khusus, beberapa temuan mutakhir aktivitas masyarakat lokal (adat) di Sumatera dapat dijumpai seperti di komunitas adat Melayu Riding, yang berada dalam wilayah administrasi 12 desa di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, masyarakat sudah tidak lagi melakukan tradisi sonor (menaman padi di rawa-gambut) dalam 5 tahun terakhir, akibat masuk dan beroperasinya beberapa perusahaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri di wilayah OKI. Prediksi pasang-surut air di lahan (rawa-gambut) dalam pengetahuan (Anonim, 2009).   
Kearifan lokal budaya suatu masyarakat, berbeda dengan masyarakat lainnya. Oleh karena itu perlu kebijakan yang arif didalam pelaksanaan ekologi politik terhadap masyarakat setempat. Di tengah gelombang bencana, kekerasan, keserakahan dan krisis identitas budaya lokal yang telah melumat habis ikatan kemanusiaan dan kebersamaan di banyak tempat di tanah air, ternyata masih ada kekuatan yang terus dipelihara untuk memperkuat teladan dan kearifan budaya lokal di kalangan masyarakat. Kearifan lokal seperti nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan dan sikap ketauladanan lainnya mulai banyak terkikis di dalam lingkungan budaya masyarakat. Visi dan ideologi politik pembangunan yang lebih mendepankan pertumbuhan ekonomi, perkembangan fisik, dan material dibandingkan dengan nilai spritualitas dan kearifan lokal (lokal wisdom) dipropagandakan oleh mesin-mesin negara, dalam banyak hal mempengaruhi cara berfikir dan bertindak sebagaian besar anggota masyarakat. Kini keberhasilan dan kesuksesan seorang tokoh masyarakat (elite) tidak lagi diukur sejauhmana peran sosialnya dan pengabdiannya di tengah masyarakat, tapi kekayaan yang dimilikinyalah yang menjadi ukuran.
Masyarakat dalam banyak hal, kini sudah teracuni oleh modernisme budaya konsumtif, egois dan praktek menghalalkan segala cara. Nilai-nilai kemodernan itu menggeser kearifan budaya lokal komunitas. Benturan nilai itu tidak jarang membuat masyarakat pun mulai mengalami krisis identitas adat. Kearifan menyelesaikan konflik, pertikaian melalui pendekatan kemanusiaan dan persaudaraan yang sangat luhur. Ada beberapa contoh kearifan lokal yang dapat diterapkan dalam ekologi politik terhadap menjaga kelestarian manusia dan alam. Salah satu contoh misalnya karifan loka budaya di daerah Musi rawas (Sumsel) yang masih mempertahankan budaya “tepung setawar”. Media itu berupa tradisi yang mempergunakan media tepung tawar dalam meresolusi konflik. Di Kalimantan, bagaimana kearifan lokal masyarakat dalam pemanfaatn lahan gambut, yang disebut dengan handil. Para pioner dalam membuka lahan rawa yang dipimpin oleh seorang tokoh yang disebut dengan kepala Handil pertama kali biasanya dikerjakan adalah menggali saluran yang disebut handil (handil dari kata anndeel = bahasa Belanda, yang artinya gotong royong, bekerjasama). Handil dibuat menjorok masuk dari pinggir sungai sejauh 2-3 km dengan kedalaman 0,51,0 m, dan lebar 2-3 m (Idak, 1982 dan Noorsyamsi et al., 1984).  Adanya kekuasaan ekologi politik yang kuat (Poltical wild), akibatnya gambut di buka seluas-luasnya, sehingga merusak tata ruang wilayah tersebut. Begitu juga dengan daerah lain, sehinga ada saling keterkaitan erat antara kebijakan dalam ekologi politik terhadap kearifan lokal budaya masyarakat.
  1. D.    PENTINGNYA KEARIFAN BUDAYA LOKAL TERHADAP PELESTARIAN EKOSISTEM: BENANG MERAH UNDANG-UNDANG KONSERVASI INDONESIA
Adanya dikotomi  antara masyarakat modern dan masyarakat tradisional, juga membawa dampak terhadap ekologi politik yang terapkan oleh manusia. Masyarakat tradisional yang kebanyakan adalah masyarakat pedalaman, dimana hutan adalah sumber penghidupan utama yang kelestariannya terus dipertahankan.  Begitu juga dengan sungai yang bersih, sebagai mata pencaharian bagi yang lainnya. Akan membawa dampak langsung terhadap perubahan ekosistem di dalam masyarakat tersebut. Hal ini juga mempengaruhi kehidupan masyarakat modern di perkotaan yang saling ketergantungan terhadap hasil hutan dan sungai.
Ini tidak berarti bahwa ekologis politik tidak menyadari bahwa bidang mereka masih kurang suatu unsur esensial. Beberapa komentator mengeluh, tidak adanya sebuah slogan yang jelas seperti ‘tragedy of the commons’ (tragedi hak komunal), mencegah ekologi politik untuk lebih berpengaruh dalam lingkungan kebijakan. Bagaimanapun, yang dibutuhkan bukanlah naratif sederhana yang menjelaskan mengapa krisis lingkungan global mengganjal, tapi sebuah naratif yang menunjukkan seperangkat langkah konkrit kearah sebuah realita alternatif. Dengan kata lain, kekurangan ekologi politik terletak dalam kegagalannya untuk menguraikan krisis lingkungan global dengan cara yang tidak membutuhkan mekanisme pemecahan yang dipinjam dari kebijakan neo liberal.
Bagi masyarakat kota yang tidak hidup dari pertanian dan sungai tidak berkaitan dengan kesengsaraan, demikian halnya dengan gundulnya hutan dan longsor, tidak mereka rasakan. Dengan berbagai pertimbangan manusia modern, kebijakan ekologi politiknya adalah bisa jadi keringnya sungai menjadi alasan untuk membangun pabrik dan perumahan. Dari penggundulan hutan, bisa jadi kelompok "kota" memperoleh laba, apakah dengan pola hutan tanaman industri yang selalu bermasalah, ataupun illegal logging-nya. Hutan lindung pun bisa saja dijadikan vila yang eksklusif untuk kesenangan dan prestise, bukan untuk melestarikan hutan dan tanamannya.
Barangkali persoalan mulai dirasakan masyarakat kota tatkala banjir sering menyergapnya. Tanaman yang ditebangi dan dijadikan jalan dan perumahan berbuntut daerah resapan air menyempit. Berbagai teknologi yang dikonsepkan mampu menghindarkan banjir pun akhirnya harus tetap menyerah pula. Masyarakat kota yang hipermodern dan modern menikmati hasil perbuatan sebagian warganya. Oleh karena itu wajar jika ada sebagian budaya lokal masyarakat di Indonesia yang meyakini bahwa kepercayaan dalam pohon rindang dan besar atau gua yang seram ada penghuni gaib bisa saja merupakan bentuk kearifan lokal. Dengan kepercayaan tersebut masyarakat tidak sembarangan untuk menebang dan merusak hutan, mereka sangat menghargai alam sebagai ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk penghidupannya, sehingga perlu dirawat dan dijaga. Kearifan budaya lokal tersebut tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, namun dapat direnungi dalam jangka waktu panjang. Dengan konsep pamali, masyarakat tradisional memagari perbuatan anak-cucu agar tidak merusak alam. Telaga dan danau yang ditumbuhi pohon besar dan rindang pun terjaga dari gangguan tangan jahil sehingga debit dan kualitas airnya dapat terjaga.
Pelestarian eksosistem, bukan tanggungjawab masyarakat pedesaan saja, tetapi juga pemerintah. Lemahnya hukum tata lingkungan di Indonesia sebagai kebijakan ekologi politiknya, juga menjadi dasar para konglomerat untuk merusak tatanan kehidupan ekosistem di alam. Sebagai contoh dalam pasal 35 UUPLH, pasal 2 poit c, yang berbunyi:  adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, maka dalam pasal 3, dibunyikan jika terjadi kerusakan pihak ketiga bertanggungjawab. Namun ada dua penafsiran yaitu strict liability dan lex specialist.  Jadi jelas konsep tanggungjawab mutlak seharusnya dibebankan kepada pihak ketiga yang berhubungan dengan timbulnya kerusakan. Salah satu ciri utama tanggungjawab mutlak itu adalah tidak adanya persayaratan tentang perlu adanya kesalahan (Lummert, 1980:239). Sehingga masyarakat lokal tidak dijadikan objek belaka, tetapi bagaimana diajak dalam menjaga kearifan di alam. Keberpihakan pemerintah dengan UUPLH nomor 23 tahun 1997, juga diperlukan sebagai political wild terhadap pelestarian alam dan kebudayaan masyarakat setempat (Hardjasoemantri, 1999).
Dalam situasi global, Indonesia juga terikat dengan aturan dan berbagai kesepakatan internasional, seperti Convention of Biodiversity, Forest Principles and world Conservation Strategy dan lain-lain, bahwa kebijakan pengelolaan kehutanan dan sumberdaya alam, harus mempertimbangkan ratifikasi dan rambu-rambu yang sudah disepakati bersama. Strategi konservasi alam di Indonesia saat ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah konservasi sejak jaman penjajahan Belanda. Pemerintah membutuhkan waktu 12 tahun untuk membuat peraturan perundangundangan pelaksana atas proses ratifikasi CITES. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pemerintah juga membutuhkan waktu sembilan tahun untuk mensahkan peraturan pelaksana dari UU No. 5 Tahun 1990 dalam perlindungan satwa liar yang dilindungi. Peraturan pelaksana tersebut antara lain adalah PP No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan  dan Satwa Pengawetan dan PP No. 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.  dari beberapa peraturan tersebut maka, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam benang merah konservasi sumber daya alam Indonesia yang berpijak kepada UU sebagai kebijakan politik dan kearifan local masyarakat. Hal itu antara lain:
  1. Kondisi ekosistem sumber daya alam di Indonesia yang merupakan bagian dari ekosistem tropika yang mempunyai karakteristik spesifik, diperlukan frame work  konservasi yang komprehensif yang bias berbeda dengan ekosistem sumber daya di tempat lain
  2. Peraturan perundang-undangan yang ada diperlukan telaah yang komprehensif masih diperlukan sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam ekologi politik (Marsono, 2004).
Selain peraturan sebagai kebijakan ekologi  politik, hubungan timbal-balik antara manusia dan lingkungannya sangat berkaitan erat dengan pola perkembangan suatu wilayah dimana segala sesuatu yang dilakukan kepada lingkungannya akan berpengaruh balik terhadap ekologi yang ada di sekitarnya dapat bernilai positif dan bernilai negatif tergantung dari bagaimana pengelolaan yang dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekologi. Hal ini terlihat dengan adanya peraturan daerah seperti di Sumatera Selatan adanya Perda No. 5 tahun 2008 tentang pengelolaan lahan rawa gambut, sehingga ada peran pemerintah daerah dalam perlindunagn dan konservasi alam. Dengan aturan itu, manusia mempunyai tanggung jawab dan pengaruh yang besar terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya, perkembangan dan kemajuan teknologi dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi perubahan-perubahan pola penggunaan lahan, pertumbuhan masyarakat, urbanisasi, pertanian, ekonomi dan sosial budaya
Selain itu, dalam menjaga nilai ekosistem tetap terjaga, maka norma dan nilai pendidikan tampaknya perlu memikirkan untuk melestarikan alam secara lebih baik. Penerjemahan pamali ke dalam kosa kata dan konsepsi logis perlu dapat dipertimbangkan. Tugas pemerintah, pertama, memediasi agar kebijakan politik membangun yang mengatur tata ruang, hutan, dan sumber daya alam lain tidak terlepas dari kearifan lokal dalam konsep ekologi budaya. Upacara adat perlu dimaknai mendalam dengan melibatkan budayawan dan kaum pendidik, bukan hanya aset pariwisata yang sering ditampilkan sebagai pelengkap penderita dalam kunjungan wisatawan tertentu.
Kedua, mempertimbangkan sanksi sosial, moral, dan formal bagi pelanggar adat dan kearifan lokal tertentu. Ketiga, menata birokrasi yang proalam agar segala kreativitas masyarakat yang bertujuan melindungi alam mendapat kemudahan bahkan mendapat proteksi, sebaliknya yang bertendensi merugikan kendati secara ekonomis menguntungkan, perlu mendapat revisi ataupun penolakan. Keempat, sudah waktunya ada perlindungan terhadap kearifan lokal. Jika perlu hasil olah pikir leluhur lokal perlu memperoleh Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) seperti dikemukakan Kusnaka, 2008 dalam Sumaryana, 2009.
  1. E.     PENUTUP
Keragaman masyarakat  di Indonesia kearifan tradisional  ini pun juga makin beragam dalam hal ini satu daerah dengan daerah lain penerapannya akan berbeda meskipun tujuannya sama.  Dalam kearifan tradisional terdapat unsur-unsur yang cukup berharga untuk mendukung program penyelamatan sumberdaya genetik tanaman hutan di  Indonesia.  Hal ini  bisa demikian karena kearifan tradisional merupakan:
  1. Dasar kemandirian dan keswadayaan
  2. Memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan
  3. Menjamin daya hidup dan keberlanjutan
  4. Mendorong teknologi tepat guna
  5. Menjamin pendekatan yang efektif dari segi biaya, ( oding,s. 2002).
Kalau dahulu manusia menjadi aktor terbatas di dalam ekosistem tertentu, sekarang menjadi sumber pengaruh di hampir semua ekosistem di bumi yang membuat kebijkan ekologi politik, yang hampir seluruh sifatnya hanya mengambil keuntungan sesaat. Bahkan boleh dikatakan, planet bumi dengan biosfernya lah yang merupakan ekosistem bagi manusia sekarang. Daya dukung ekosistem inilah yang akhirnya menentukan, penyesuaian apa yang harus dilakukan manusia dalam perilaku dan pola organisasi untuk tetap survive.
Ekologi politik juga berperan dalam hal konservasi sumber daya alam, hal ini terkait dengan kebijakan lokal, nasional dan internasional. Adanya aturan yang mengikat setidaknya dapat mencegah dan mengurangi efek kerusakan lingkungan. Bagaimana masyarakat lokal dan pemerintah secara bersama dapat melaksanakan aturan tersebut seara komprehensif dan tidak parsial, sehingga alam dapat terjaga.
 Akhirnya sebagai manusia yang berbudaya, adalah manusia yang mampu menjaga kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat agar tetap lestari. Bagaimanapun juga, peran pemerintah dan swasta dengan kebijakan politiknya, tetap memperhatikan kearifan lokal yang masih terjaga di masyarakat harus tetap dipertahankan. Bukan sebaliknya, malah diabaikan dan hanya dijadikan seremonial belaka, pada akhirnya hanya sebagai tontonan, bukan sebagai pelindung alam sekitarnya. Keterbatasan pendidikan masyarakat tradisional terhadap penghormatan dan penghargaannya terhadap alam, perlu di apresiasi. Kearifan lokal diperlukan oleh pemerintah setempat, sebagai upaya pencegahan dini terhadap kebijakan ekologi politik yang ditetapkan oleh sebagian masyarakat modern dalam mengelola alam.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta
Andrea Nightingale, dalam “Can Social Theory Adequately Address Nature-Society Issues? Do Political Ecology and Science Studies in Geography Incorporate Ecological Change?”, Institute of Geography Online Paper Series : GEO-027.
WBryant, RL. 1998. “Power, Knowledge and Political Ecology In The Third World: a review.” Progress in Physical Geography 22(1): 79-94.
Bryant, RL. 1997. “Beyond the Impasse: The Power of Political Ecology in Third World Environmental Research.” Area 29(1): 5-19.
Campbell, NA, Reece, J.B dan Mithcell, L.G. 2004. Biologi ed. 5. Erlangga. Jakarta.
Dianne Rocheleau, Barbara Thomas-Slayter, dan Esther Wangari, (1996), dalam Feminis Political Ecology: Global Issues and Lokal Experiences.
Guha, R. (2000) Environmentalism: A Global History. Longman: New York.
Hardjasoemantri, K. 1999. Hukum tata Lingkungan. UGM Press. Jogjakarta.
Helen Ross, dalam tinjauanterhadap “Feminist Political Ecology: Global Issues and Lokal Experiences, dari Dianne Rocheleau, Barbara Thomas-Slayter, dan Esther Wangari . Journal of Political Ecology : Case Studies in History and Society. http://jpe.library.arizona.edu/volume 4/rossvol 4.htm, 27 Oktober 2009.
“Kultural Ecology”, diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Kultural_ecology, modifikasi terbaru 26 Oktober 2009.
Marsono, J. 2004. Konservasi Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup. Bigraf publishing. Jogjakarta.
Martinez-Alier, J. The Environmentalism of the Poor: A Study of Ecological Conflicts and Valuation. Edward Elgar: Cheltenham, UK.
Polunin, N. (ed). 1987. Teori Ekosistem dan Penerapannya. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.
Schubert, J. 2005. Political Ecology in Development Research : An Introductory Overview and Annotated Bibliography“.
Soemarwoto, O. 1985. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Jakarta
Sumaatmadja, N. 2000. Manusia dalam konteks Sosial Budaya dan Lingkungan Hidup. Alfabeta. Bandung
Sumaryana, Asep. 2009. Kearifan Lokal Dan Kerusakan Alam. Pikiran Rakyat, 16 Januari 2009.

LITERASI JALANAN ( TAKY ) VS PENDIDIKAN KAPITALISME BENTUKAN PEMERINTAH

"mama sekarang saya su bisa balajar lagi, tapi bukan di sekolah hanya di ruang terbuka, torang tara pake seragam , hanya pake baju biasa deng tara bayar uang sekolah"

wujud lisan dari seorang anak kepada ibunya yang mengharapkan agar sekolah tak ada kata bayar,
ini terjadi di banyak tempat, apalagi JAKARTA yang banyak sekali anak-anak jalanan yang butuh sekolah, bukan karna malasnya anak-anak yang ada di jalan , tetapi kebutuhan ekonomi mereka yang di jalan masih belum sepenuhnya di perhatikan oleh pemerintah, sistem pendidikan yang di bentuk oleh NEGARA ini masih lemah untuk di terapkan , seandainya kalau semua pendidikan yang ada di indonesia menerapkan sistem pendidikan GRATIS atau buat saja sekolah untuk anak -anak yang ada di jalan , ataukah bisah negara ini mengurusi semua anak-anak yang ada di jalanan yang masih tak tau arah hidupnya ? .

ini sedikit cerita tentang komunitas taky yang biasa mangkal di blakang moll atau biasa kita sebut BLOK M, 29 Maret 2015 , selesai soladh Isa ' ada beberapa anggota komunitas rumput taky dari cabang terminal dan kampung gamalama turun ke jalan dengan tujuan untuk ngamen penggalangan dana untuk membuat kaos komunitas , dari warung ke warung dan di temani hujan gerimis di malam itu , karna semangat kebersamaan '' kehangatan untuk terus berjuang selalu ada di hati kawan - kawan komunitas TAKY, tetapi ada tatapan yang kuat di salah satu warung, tatapan yang penuh kesombongan dan penuh kerakusan , ternyata ada sekelompok guru lagi makan .

kata - kata permisi ataupun orasi di dalam warung sering kami lakuakan, seperti ini orasimalam itu " asalamualaikum 
maaf menggangu makan malan anda semua
perkenalkan kami dari komunitas rumput taky
seperti biasa selalu menghibur pengunjung yang sedang makan blok M
namun pada malam hari ini kami ngamen tujuannya untuk menggalang dana 
kamuniatas kami.
tiba-tiba tatapan yang sombong itu bersuara dengan nada yang seakan merendakan kami , bukan cuma satu orang saja tapi ada 3 orang guru yang adu mulut dengan kami, bukan melawan orang tua,
 "tapi si guru itu bilang kalau tak ada pendidikan jalanan , masa ada pendidikan di jalan"
kami hanya bilang pak " pendidikan di jalan bukan seperti di sekolah yang bapak sekarang mengajar ini hanya bentuk sekolah yang kami coba bentuk tetapi di dalamnya mengajarkan tentang kreatifitas ''
bukan matematika, fisika, ataupun kimia", langsung saja dengan gampang dia menjawab anak - anak yang salah bukan guru " karna mereka sendiri yang malas sekolah , sering bolos dan selalu nakal''
si guru ini tidak mengerti apa maksud dari komunitas kita , ini tentang komunitas yang mau bergerak di bidang kreatifitas , pendidikan dan budaya , dan kamipun bukan mau mengikuti sistem pendidikan yang di bentuk oleh negara , tapi kami hanya ingin belajar di jalan bersama anak-anak di jalanan.

sistem saja berbeda, mungkin guru itu tak mengerti komunitas , kami juga ingin membantu teman , saudara , dan sahabat kami yang berada di jalan agar sama-sama belajar , kami juga tak mau anak - anak yang ada di jalan di cap sebagai pengemis , atau preman. seharusnya guru itu juga mendukung gerakan kami, karna etika kebudayaan juga kami terapkan dalam komunitas kami, 

pertanyaan ini sering saya tanya di kawan - kawan komunitas " titel guru sudah banyak di indonesia tapi kenapa masih ada anak - anak yang putus sekolah ? memangnya guru mampuh atasi anak agar jangan malas untuk sekolah ? kenapa guru tak cari tau kalau anak itu sering bolos ?
ini yang harus di lakuakan oleh guru di maluku utara, kedekatan guru dan murid itu juga perlu untuk di lakuakan , seandainya anak itu bolos karna dia bosan dengan guru yang mengajarkan selalu jahat , atau karna cara mengajar guru membosankan bagi muridnya sehingga dia malas untuk belajar mata pelajaran itu.

bukan nilai di raport untuk menentukan kecerdasan orang, ingat semua orang itu punya kecerdasan yang berbeda - beda, kita harus pahami sebenarnya sekolah itu bebas di mana saja juga boleh yang penting sungguh-sungguh untuk belajar bukan main - main, seperti program komunitas rumput taky tentang LITERASI JALANAN, tujuannya untuk sama - sama kita belajar dengan anak - anak yang ada di jalan, program literasi jalan ini tak sama dengan pendidikan yang di bentuk oleh negara , biaya saja kita cari lewat ngamen sedangkan sekolah bentukan negara di biayai oleh negara sendiri.

cara kami belajar saja berbeda dengan yang ada di sekolah bentukan negara , kami belajar di alam terbuka bagi kami alam raya adalah sekolah dan semua orang itu guru, kami belajar bersama tak ada yang saling menggurui , kami juga punya papan tulis dan perpustakaan sendiri walaupun buku bekas tetapi cukup untuk saudara kami di jalan membacanya.

PAK ATAU BU YANG KATANYA GURU
belajar tak selamanya di dalam ruangan"
alam raya juga bisa di jadikan sekolah"
guru juga harus pahami pisikologi anak 

LEBIH BAIK PENDIDIKAN GRATIS SAJA BU DAN PAK YANG KATANYA GURU

FOTO INI BERLOKASI DI BELAKANG MOLL JATI LEND







BY: DAORENGE PRAJURIT RIMBAH







Minggu, 22 Februari 2015

estetika



Sebelum tahun 1965, ada dua kelompok besar yang bertentangan dalam menilai  sastra/kebudayaan/kesenian di Indonesia. Yaitu ada LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang mengusung Seni untuk Rakyat, Politik sebagai Panglima dan Realisme Sosialis yang selalu membumikan budaya kritis dan budaya perlawanan terhadap kekuasaan sang Tiran. Kelompok yang kedua adalah dia yang menamakan diri sebagai Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Para kaum Manikebuis ini selalu mengusung Seni untuk Seni dan Humanisme Universal. Yang oleh Pramoedya Ananta Toer—tokoh Realisme Sosialis Indonesia—mengatakan bahwa pertarungan antara dua kubu itu diistilahkan sebagai “perang babad Lekra” yang berlangsung tahun 1959 – 1965. Artinya adalah, perseteruan dari dua kubu tersebut sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan sastra Indonesia. Antara kedua kubu tersebut, dengan sendirinya telah memberikan idiom-idiom penting yang sering kali dijadikan patokan ideologis dan garis politik individu atau suatu organisasi dalan berkesenian. “Perang” yang tidak adil ini memang dimenangkan oleh kubu Manikebu.

Dalam Mukaddimah-nya sendiri, Lekra tak secara spesifik menyebut istilah realisme sosialis. Namun, indikasi itu bukannya tidak ada. Lihatlah rumusan-rumusan yang dicuplik dari Mukaddimah tersebut: “Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan…”, “Lekra membantah pendapat kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat”, atau “Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan-pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat mana pun di dalam hati manusia…”.

Seni yang dilihat dari sudut pandang pengertian bentuk tanpa isi merupakan seni yang secara terang-terangan ditolak oleh seniman-seniman Lekra. “Politik sebagai panglima” ditempatkan sebagai sebuah standar bagi penilaian terhadap karya seni. Karena itu, seniman tidak menempatkan diri sebagai pengabdi (melulu) artistik. Kemerdekaan tidak diartikan sebagai keleluasan beriseng sendiri hanya dalam lingkaran kesenian, tanpa menyadari fungsi seni sebagai alat revolusi. Seniman tidak boleh menjadi semacam menara gading kaum elitis, dan sebaliknya ia harus selalu berbaur dengan rakyat. Para pelukis, misalnya, harus menyempatkan diri berada di tengah-tengah petani untuk bisa melukiskan penderitaan mereka yang melarat itu, karena anatomi petani berbeda dengan anatomi orang-orang kota. Kegiatan kreasi seni—dengan kacamata seperti itu—akhirnya senantiasa diverifikasi apakah ia sejalan dengan motif perjuangan kelas atau tidak. Suatu motif yang kemudian dikenal sebagai gerakan “turba” atau turun ke bawah.

Pramoedya sendiri memahami gerakan turun ke bawah tidak dalam makna yang sesempit itu. Bagi Pramoedya, turun ke bawah adalah ibarat kembali ke dunia desa. Lebih jauh lagi, kembali ke dunia cikal-bakal desa. Bukan turun ke bawah, melainkan turun ke sejarah. Ke dasar. Inilah yang kemudian membentuknya untuk yakin betapa pentingnya sejarah bagi perkembangan manusia, di mana seni yang terlibat di dalamnya juga tidak bisa lepas dari peran penting sejarah.
Seperti awal kelahirannya, masuknya realisme sosialis ke Indonesia tidak pernah diketahui secara pasti kapan pula waktunya. Namun yang jelas, kemunculannya bisa dianggap sangat erat kaitannya dengan keberadaan Lekra dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sekitar tahun 1950-an, beberapa seniman kiri menemui Nyoto untuk menyatakan peranan seni dalam perjuangan kelas. Nyoto sendiri dalam pidato sambutan pendirian Lekra yang berjudul Revolusi adalah Api Kembang menyatakan bahwa hanya ada dua pertentangan antara dua asas besar, yakni kebudayaan rakyat dan kebudayaan bukan rakyat, dan tak ada jalan ketiga. Dan baginya, tak mungkin kebudayaan rakyat bisa berkibar tanpa merobek kebudayaan bukan rakyat.

Jauh sebelumnya, S Soedjojono, yang sering kali dianggap sebagai “Bapak Seni Rupa Modern Indonesia” (ia pun kelak dikenal sebagai aktivis Lekra) mengatakan, “Maka itu para pelukis baru akan tidak lagi hanya melukis gubuk yang damai, gunung-gunung membiru, hal-hal yang romantis atau indah dan manis-manis, tetapi juga akan melukis pabrik gula dan petani yang kurus kerempeng, mobil mereka yang kaya-kaya dan celana pemuda miskin; sandal-sandal, pantalon dan jaket orang di jalanan.”


Setelah kemerdekaan, begitu pimpinan-pimpinan revolusinya—Soekarno, Hatta—tidak serevolusioner Rakyat, kalangan seniman maju mulai resah. Apalagi, akibat dari perundingan yang satu dengan yang lain, wilayah Indonesia semakin menyempit karena harus diserahkan kepada Belanda. Ditambah lagi, tentara Belanda yang melakukan agresi militer I dan II. Semua ini, dirasakan oleh kalangan seniman, bahwa revolusi masih terus terancam. Surat Kepercayaan Gelanggang yang ditandatangani di Jakarta tanggal 18 Februari 1950, menyatakan: "Revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai". Berawal dari sini, kemudian lahirlah LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), pada tanggal 17 Agustus 1950.
LEKRA, sejatinya adalah front kebudayaan. Ia dibangun dari berjamurnya kesenian rakyat: ketoprak, karawitan, tari, wayang juga dalam bentuk sanggar-sanggar. Pendukung Lekra juga banyak berasal dari tokoh-tokoh masyarakat atau bahkan group kesenian lain seperti Ludruk Marhaen. Di bawah payung Lekra, dikembangkan kerja sama dengan organisasi lain seperti serikat tani, pemuda, perempuan, buruh dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Sebagai organisasi kebudayaan, LEKRA, terus meluaskan struktur organisasinya. Terbentuklah badan nasional untuk pemain ketoprak, Sarbufis (Sarekat Buruh Film Indonesia) dan lain-lain. Dengan modal ini, kemudian dikembangkan juga aksi-aksi front kongkret seperti AMPAI untuk menolak dominasi film imperialis Amerika Serikat. Pendirian Lekra juga mendorong semangat Integrasi seniman dengan rakyat melalui kerja Tiga S di tahun 1960-an. Dari sini, Pram menghasilkan Sekali Peristiwa di Banten Selatan.
LEKRA, sejatinya adalah front kebudayaan. Ia dibangun dari berjamurnya kesenian rakyat: ketoprak, karawitan, tari, wayang juga dalam bentuk sanggar-sanggar. Pendukung Lekra juga banyak berasal dari tokoh-tokoh masyarakat atau bahkan group kesenian lain seperti Ludruk Marhaen. Di bawah payung Lekra, dikembangkan kerja sama dengan organisasi lain seperti serikat tani, pemuda, perempuan, buruh dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Sebagai organisasi kebudayaan, LEKRA, terus meluaskan struktur organisasinya. Terbentuklah badan nasional untuk pemain ketoprak, Sarbufis (Sarekat Buruh Film Indonesia) dan lain-lain. Dengan modal ini, kemudian dikembangkan juga aksi-aksi front kongkret seperti AMPAI untuk menolak dominasi film imperialis Amerika Serikat. Pendirian Lekra juga mendorong semangat Integrasi seniman dengan rakyat melalui kerja Tiga S di tahun 1960-an. Dari sini, Pram menghasilkan Sekali Peristiwa di Banten Selatan.

Penghijauan; Harapan atau Bencana?



Tak seperti biasa, kali ini wajah muram bercampur khawatir tergambar di wajahnya, Madiki Higinik (64) sesekali nada perlawanan keluar dari mulutnya. “Demi leluhur, saya tidak pernah mengambil sepersenpun uang dari orang yang ingin mengambil hutan adat Suku Tobelo Dalam,” Kata Madiki, Ketua Adat Suku Tobelo Dalam Hoana Dodaga.
Madiki bercerita, ada program penghijauan yang masuk di wilayah hutan adat Suku Tobelo Dalam Hoana Dodaga, di Dusun Tukur-Tukur hingga terjadi pro-kontra antar warga sebab, program tersebut masuk dalam kebun milik Suku Tobelo Dalam Hoana Dodaga dan memasukkan perusahan pohon karet. Bahkan, ada pihak lain yang menyebarkan isu untuk menjatuhkan nama baik Kepala Suku.
“Ada orang-orang tertentu yang ingin membuat konflik antar suku Tobelo Dalam-menyebarkan isu bahwa, saya terima uang dari perusahan yang bekerja sama dengan Dinas Kehutanan untuk mereka mengambil Tanah Adat,” Suara Madiki terbatah-batah, matanya berkaca-kaca saat menjelaskan kejadian tersebut, di rumah papan sederhana miliknya, di Desa Dodaga, Kecamatan Wasilei Timur, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara.
Dalam program tersebut, Dinas Kehutanan melibatkan 42 warga terdiri dari 24 warga trans Subaim dan 18 orang Suku Tobelo Dalam Hoana Dodaga yang dalam hal ini memiliki kebun di hutan adat tersebut. tahapan awal, pada Februari ini, pihak Dinas Kehutanan telah mengkapling 150 hektar tanah adat dan kebun Suku Tobelo Dalam untuk menjalankan program tersebut.
“Suku Tobelo Dalam yang dilibatkan, diberi upah Rp.250.000 untuk melepaskan kebun mereka. Selain itu, tahap selanjutnya, Dinas kehutanan akan mengkapling lahan dengan skala yang lebih besar untuk program tersebut yang katanya sudah dimiliki perusahaan berlabel PT.Antam,” kata Arnol (38).
Tanganiki (45), Warga Suku Tobelo Dalam yang kebunnya dialihfungsikan, sempat melakukan perlawanan dengan cara mencegah Dinas Kehutanan dan beberapa warga trans yang mengambil lahan kebunnya untuk ditanami bibit pohon pala. “Saya heran, ini pemerintah kenapa buat program ini lalu mengambil kebun saya begitu saja,” kata Tanganiki.
Tidak hanya Tanganiki, beberapa warga bernasip serupa, “Kebun saya diambil semua, saya melihat, orang-orang yang bawa bibit itu, tanam plang dan ada nama PT Antam,” kata Andi dengan nada kecewa. Beberapa warga yang melakukan penolakan tersebut pun diancam dengan cara menakut-nakuti. “kata orang Dinas Kehutanan, jika kita tidak mau program ini masuk maka kita, Suku Tobelo Dalam akan berhadapan dengan Kepolisian dan TNI yang akan turun tangan,” kata Donah (28) salah satu warga Tobelo Dalam yang hidup di Tukur-Tukur.
Anak Tiri di Negeri Sendiri
Suku Tobelo Dalam Hoana Dodaga telah lama menjadi anak tiri di tanahnya sendiri, dari Aspek kebijakan pembangunan jelas terlihat, lahan pasar hingga lahan tanaman lebih didominasi warga trans sedangkan warga asli tinggal di daerah pinggiran. “hal ini jelas terlihat, masyarkat Asli tinggal di daerah yang cukup terbelakang, dan lahan pertanian semakin sempit,” kata ketua Pengurus Wilayah AMAN Malut Munadi Kilkoda.
Program “Rumah Kumuh” (Istilah pemerintah setempat) untuk mengeluarkan Suku Tobelo Dalam dari hutan pun banyak mengalami salah sasan karena hanya memprioritaskan pada aspek bangunan rumah tanpa mempertimbangan unsur lain. bahkan, setelah dikeluarkan Suku Tobelo Dalam dari hutan, mereka pun dilarang masuk kembali untuk berburu, dan bercocok tanam karena hutan yang dulu mereka diami telah menjadi kawasan Taman nasinal. Data yang dikantongi AMAN, 27.710.98 Ha kawasan hutan adat bertumpang tindih dengan kawasan hutan versi kementerian Kehutanan. wilayah Hutan adat tersebut,dibagi pemerintah menjadi Area penggunaan Lain (APL) seluas 8056.406 Ha, Hutan Lindung (HL) seluas 5951.642, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 8134.122 Ha, Hutan Produksi Tetap seluas 1657.313 Ha, Hutan Produksi yang Dapat Dikonservasi (HPK) seluas 139.696 Ha, dan Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam (KPA) seluas 268.653 Ha.
Dengan adanya tumpang tindih lahan tersebut, hingga terjadinya diskriminasi atas warga atas tanah-kebun, dan wilayah jelajah Suku Tobelo Dalam, PW AMAN Malut pun mulai mengambil tindakan saat ini agar pemerintah Halmahera Timur segera mengeluarkan mengsahkan Perda berdasarkan putusan MK No 35/PUU-X/2012.

Oleh: Faris Bobero