Setiap masyarakat di Maluku Utara bila mendengar kata “BANAU”, maka
konotasi yang akan timbul dalam pikiran pasti-lah nama salah seorang
pejuang kemerdekaan yang sangat berani dan terang-terangan menentang
penjajahan dan penindasan Kompeni Belanda, khususnya di wilayah Jailolo (Sekarang Kabupaten Halmahera Barat – Propinsi Maluku Utara).
Konotasi kedua mungkin tertuju pada nama salah satu Batalyon Infanteri
732 di Ternate, Konotasi ketiga adalah nama salah satu jalan di kota
Ternate dan konotasi yang lain misalnya tertuju pada nama salah satu
sekolah setingkat SMTP di kota Ternate.
Pelestarian kebesaran nama Banau oleh orang Ternate (Maluku Utara) diimbuhkan pada konotasi-konotasi yang disebutkan di atas. Tapi sesungguhnya banyak diantara kita sudah sering mendengar ceritera kepahlawanan Banau yang melegenda tersebut, namun tidak banyak dari kita yang tahu bagaimana aspek kesejarahan dari peristiwa heroik tersebut. Bagi yang peduli akan nilai-nilai perjuangan yang ditunjukan oleh Banau, pastilah bertanya ; Bagaimana? Kapan? dan Dimana? peristiwa heroik itu terjadi? Dengan sumber data yang minim, penulis berusaha untuk mendeskripsikan peristiwa tersebut dalam bentuk artikel ini, mudah-mudahan ada manfaat buat pengunjung situs ini.
Pada awal tahun awal tahun 1900-an, di dataran Eropa sedang berkecamuk Parang Dunia ke-I. Negaranegara Eropa termasuk Belanda di daerah jajahannya khususnya di Indonesia juga melakukan persiapan-persiapan ke arah tersebut. Ketika Bangsa Jepang mampu menaklukkan wilayah Uni Soviet pada tahun 1905, maka bangsa-bangsa Eropa mulai segan terhadap apa yang terjadi di wilayah timur. Mereka mulai memperhitungkan adanya kebangkitan dari bangsa-bangsa Asia untuk melawan dominasi Barat.
Perang Jailolo yang terjadi di wilayah bekas kesultanan Jailolo di pulau Halmahera Maluku Utara, yang oleh masyarakat setempat sering disebut “Perang Tuada se Tudowongi” atau dalam bahasa daerah disebut dengan “ROGU LAMO JAILOLO” mengandung nilai perjuangan dan refleksi jiwa patriotisme masyarakat Maluku Utara terhadap bentuk penindasan atas hak-hak kemanusiaan masyarakat pribumi.
Yang dimaksud dengan “Perang Jailolo atau Rogu Lamo Jalolo” adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat Maluku Utara terhadap penindasan dan penjajahan bangsa Belanda di tanah air, khususnya di wilayah Jailolo. Sedangkan peristiwan tersebut bagi bangsa Belanda pada waktu itu, merupakan suatu peristiwa tragedi yang langsung mengancam segala kegiatan kompeni Belanda di distrik Jailolo.
Latar Belakang Timbulnya Perang Jailolo
Sejak Pemerintah langsung Belanda mengambil alih wilayah bekas VOC yang bangkrut pada tahun 1799 setelah merekrut kekayaan dari bumi Indonesia (1602-1799) maka strategi baru yang dicanangkan oleh Pemerintah Belanda di seluruh daerah jajahan adalah memperketat pelaksanaan Blasting (Pajak) dan Heredienst (Kerja Paksa), untuk memasok kekurangan di dalam negeri Belanda, terutama kesulitan moneter di dalam negeri dalam menghadapi pergolakan Perang Dunia ke-I di dataran Eropa. Tinginya penetapan pajak oleh Belanda ini memicu perlawanan dimana-mana.
Di Jailolo dan sekitarnya, masyarakat dengan tingkat kemiskinan yang hampir merata, tidak mampu melaksanakan kewajiban untuk kompeni tersebut bahkan sebagian besar tidak mau memaatuhinya. Pemerintah Belanda pada waktu itu (Gezaagheber) menanggapi situasi ini dengan sikap naik pitam. Rakyat yang bermukim di sekitar teluk Jailolo termasuk Tuada dan Tudowongi membangkang aturan kompeni atas kewajiban pajak dan kerja paksa. Mereka diancam, ditangkap dan dihukum oleh petugas Belanda yang berkuasa di Distrik Jailolo dalam hal ini Ambtenaar yang melaksanakan perintah atasannya yakni Gezaagheber=Hoofd V Plaatsliyke Bestuur (Kepala Pemerintahan setempat). Dengan segala tindakan kekerasan dan ancaman dari pihak Ambtenaar menumbuhkan sikap perlawanan dari rakyat Jailolo, mereka tidak tinggal diam begitu saja. Mereka bangkit secara spontanitas dan sporadis melawan kompeni Belanda, namun masih dalam skala kelompok-kelompok kecil dan tersebar di beberapa daerah di Jailolo.
Munculah seorang pemuda berani yang berasal dari desa Tuada yang bernama “BABA” dengan kejantanan dan keberaniannya berusaha melakukan upaya konsolidasi dengan pemimpin perlawanan di tempat-tempat lain di Jailolo dan sekitarnya. Banau mulai mangatur strategi dan menghimpun kekuatan untuk melawan pihak kompeni. Dalam suatu pertemuan rahasia yang bertempat di desa Tuada, Baba kemudian dipilih oleh mereka sebagai pemimpin perlawanan. Berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain ; kemampuan dan semangat yang dimiliki dalam diri Baba maka seluruh perwakilan dari beberapa desa di Jailolo memilih Banau sebagai pemimpin mereka dan memberi dia julukan BANAU = yang berasal dari kata Baba dan Nonau (Laki-laki/perkasa).
Banau mulai mengatur strategi untuk mengganggu iring-iringan petugas kompeni Belanda yang sedang bertugas memungut Balasting dan mentukan/memilih pemuda untuk dijadikan pekerja paksa. Anak buah Banau mengusir Ambtenaar Belanda hingga lari terbirit-birit, dan kemudian kembali ke markasnya di Gufasa untuk melaporkan kejadian penghadangan tersebut kepada atasannya. Pada hari-hari selanjutnya penghadangan ini terus dilakukan oleh kawan-kawan atas perintah Banau. Tidak jarang sering terjadi kejar mengejar antara penghadang dengan petugas kompeni Belanda.
Peristiwa Berdarah Pembunuhan Tuan AGERBEEK (Pejabat Gezaaghebber Jailolo)
Pada suatu pagi pada tanggal 12 September 1914 rakyat Jailolo berkumpul di sekitar kediaman Gezaaghebber Jailolo yang bernama Agerbeek tepatnya di rumah pos kediaman Kontroler Belanda tersebut. Tujuan mereka semula hanya berkumpul untuk menyampaikan rasa protes rakyat atas sikap kompeni belanda yang tidak toleransi dalam penagihan Pajak secara paksa terhadap rakyat Jailolo. Melihat situasi yang menghawatirkan, Tuan Agerbeek memerintahkan anak buahnya untuk menghalau massa yang telah berhimpun. Mereka memerintahkan rakyat yan berkumpul untuk menyerahkan senjata tajam dan tombak yang ada di genggamannya untuk segera dikumpulkan. Massa tidak menerima ultimatum ini dan marah sehingga mulai menyerang da merusak rumah pos yang ada serta membakar salah satu gudang di sebelah rumah kediaman pengasa Belanda tesebut. Massa pada hari massa yang dipimpin oleh Banau berteriak2 dan maju menerobos rintangan hingga sampai di kediaman Gezaaghebber Jailolo (tempat ini hingga beberapa tahun yang lalu menjadi kediaman camat Jailolo). Dengan kepanikan yang sangat tinggi, karena melihat begitu banyak massa yang sudah sejak pagi mengepung kediamannya, Gezaaghebber Jailolo menyembunyikan diri di atas loteng rumah kediamannya. Sementara di luar terdengar suara hiruk-piruk mengangkasa dari rakyat Jailolo yang yang sedang marah dan mengamuk. Masing-masing yang datang membawa serta parang, salawaku dan tombak terhunus seakan tidak sabar lagi mencari mangsa dan sasarannya. Sebagian dari mereka sudah menduduki halaman dan teras rumah kediaman Gezaaghebber Agerbheek. Banau berada di barisan terdepan dan memerintahkan beberapa anak buahnya menendang pintu kediaman dan menerobos masuk kedalam rumah, namun yang dicari tidak ditemukan. Melihat situasi ini, Banau dengan beberapa orang tersebut mengambil beberapa bilah tombak (sagu-sagu) sambil menusuk-nusuk ke atas loteng, ada beberapa anak buah Banau yang langsung naik ke atas rumah karena mereka mengetahui Gezaaghebber Agerbeek sedang bersembunyi di situ.
Keadaan sedemikian rupa, karena kesabaran rakyat Jailolo sudah tidak dapat dibendung lagi. Gezaaghebber Agerbeek dengan nekad hendak melompat dari loteng rumahnya ke tanah. Banau dengan parang terhunus telah siap menanti dari bawah. Saat Gezaaghebber Agerbeek mau akan melompat, dan bersamaan dengan itu suara pekik dan teriakan yang keluar dari mulut Banau adalah “Safa…Una” (sembelih… dia). Pedang pun terhunus ke dada Gezaagheber hingga tembus ke belakang kemudian dicincang lalu roboh ke tanah dan bersimbah darah.
Sebuah peristiwa yang belum pernah terjadi di bumi Maluku Utara sebelumnya, seorang pemimpin Belanda yang sangat ditakuti untuk wilayah sebuah distrik (Jailolo) terbunuh ketika itu juga. Ia kemudian dikuburkan disamping kantor/kediamannya tersebut. Sedangkan Ambtenaar Belanda yang lainnya lari terbirit-birit untuk menyelematkan dirinya dengan perahu ke Ternate pada malam hari itu juga untuk melaporkan kejadian berdarah tersebut kepada penguasa Belanda di Ternate dalam hal ini Asisten Residen dan Penguasa Militer yang disebut Kaptein Kota. Penguasa di Ternate memerintahkan untuk segera mempersiapkan bala bantuan militer agar segera dikirim ke Jailolo untuk memulihkan situasi.
Pada tanggal 14 September 1914, dua hari setelah peristiwa, bala bantuan kompeni Belanda tiba di Jailolo dari Ternate dengan menggunakan kapal perang S.S Van Overstraten yang berlabuh di perairan teluk Jailolo, Pasukan yang dipimpin oleh Letnan Ouweriling. Karena tidak bisa merapat ke pelabuhan Jailolo, pasukan digiring untuk mendarat dengan menggunakan sekoci-sekoci kecil. Namun dari pihak Banau dan kawan-kawan tidak sedikitpun gentar menghadapi situasi ini. Mereka dengan senjata sederhana menghadang dan terjadi pertumpahan darah di sekitar pelabuhan Jailolo, senjata api pun banyak berpindah tangan ke anak buah Banau, banyak korban berguguran di kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Letnan Ouweriling tewas menemui ajalnya di medan laga, sedangkan salah satu anak buah terbaiknya yang bernama Sersan Wort juga terluka parah dan kemudian dievakuasi ke Ternate. Perlengkapan perang, tambahan personil bala bantuan dan logistik terus dikirim ke Jailolo. Melihat situasi tidak memungkinkan, Banau menyingkir ke pedalaman dan melakukan satrategi “Gorela” atau dikenal dengan gerilya. Perang Jailolo tidak berlangsung lama, namun Belanda kewalahan dan tidak mampu menangkap dan menghadapi Banau dan anak buahnya yang menggnakan strategi taktis gorela-nya.
Upaya Penumpasan Pemberontakan Banau oleh Kompeni Belanda.
Pada saat-saat yang sangat genting dan rumit bagi pihak Belanda, yang mana di negerinya di dataran Eropa sana sedang berkecamuk Perang Dunia ke-I, sedangkan di dalah satu negeri di timur sini di Maluku Utara tepatnya di Jailolo sedang bergerilyanya banau dan kawan-kawan karena menuntut hak, martabat dan harga diri untuk bebas dan merdeka atas sejengkal tanah pusaka leluhurnya.
Pihak kompeni Belanda menyebarkan mata-mata dan kaki-tangannya ke pedalaman Jailolo, Susupu dan Sahu dan sekitarnya bahkan hingga sampai ke daerah Tobaru dan Ibu di selatan untuk melacak keberadaan Banau dan kawan-kawan serta perintah menangkap hidup-hidup atas diri Banau. Namun Banau telah menghilang tanpa jejak, namun masih tetap berada di sekitar hutan belantara Jailolo, ia tidak akan meninggalkan kampung halaman dan menghianati tanah leluhurnya. Kemana menghilangnya Banau? semua rakyat Jailolo bungkam seribu bahasa bila kompeni Belanda menanyakannya. Sebagian kawan-kawan Banau telah terperangkap oleh strategi kompeni Belanda dan akhirnya ditangkap, namun jejak Banau tidak pernah bisa dilacak oleh Belanda. Penguasa Belanda kewalahan menghadapi taktis strategi Banau yang menghilang puluhan hari lamanya namun yang membuat kompeni geram adalah Banau ternyata masih bisa memberikan komando jarak jauh dari tempat persembunyiannya. Banau dan beberapa orang pengikutnya masih bersembunyi di pegunungan Jailolo dan sedang dalam perjalanan menyusuri hutan belantara pegunungan Jailolo menuju ke desa Saria agar bisa menyeberangi laut menuju ke Ternate untuk menghadap Yang Mulia Sultan Ternate yang ia junjung, yaitu (Sultan Haji Muhammad Usman Syah) untuk menyerahkan diri. Banau sering berkata pada kawan-kawannya; “Lebih baik saya menyerahkan diri kepada Jou Kolano Kie se Gam toma Kadato dari pada saya menyerahkan diri kepada Kaso Bubudo Walanda“.
Banau Menyerahkan Diri
Pada suatu malam yang gelap gulita, Banau bersama dua orang pengikutnya dengan menggunakan perahu dari desa Saria Jailolo mendarat di batu angus Ternate dan dengan mengendap-ngendap terus menyusuri bebatuan untuk menghindari pantauan mata-mata kompeni Belanda yang sedang memburunya. Ia kemudian menyusuri hutan sekitar batu angus menuju Raki Kolano terus ke Buku Konora melewati hutan belantara pegunungan Ternate kemudian turun dari gunung menuju ke pendopo Keraton Sultan Ternate guna menghubungi pihak Bobato dalam hal ini Sowohi agar melapor kepada Sultan bahwa Banau telah tiba dari Jailolo untuk menyerahkan diri kepada Sultan Ternate. Setelah Sowohi melaporkan kepada Sultan atas permohonan penyarahan diri Banau tersebut, Sultan kemudian memberikan titah (istilah bahasa Ternate : Jou Nga Idin Uci) agar sang pemimpin pemberontakan di Jailolo segera dihadapkan kepada Sultan malam itu juga.
Pagi besok harinya seluruh seisi Istana Sultan Ternate gempar dengan kehadiran dan penyerahan diri Banau. Berita ini akhirnya sampai ke telinga penguasa Belanda di Ternate. Pihak penguasa Belanda amat marah atas penyerahan Banau kepada Sultan Ternate, bukan menyerahkan diri kepada Kompeni Belanda di Jailolo atau di Ternate. Mendengar hal tersebut kawan-kawan Banau d Jailolo yang sedang dalam tahan dihajar habis-habisan oleh Kompeni Belanda karena merahasiakan rencana penyerahan diri tersebut.
Dengan penyerahan diri Banau tersebut, tabir kecurigaan kompeni Belanda mulai terkuak. Pihak kompeni Belandaselama ini berkesimpulan bahwa Peristiwa Pemberontakan Jailolo yang dipimpin Banau didalangi oleh Sultan Ternate. Setelah menerima penyerahan diri Banau, Sultan Haji Muhammad Usman Syah telah memperhitungkan secara matang akibat yang akan dihadapinya pasca penyerahan diri Banau tersebut. Sultan langsung menyerahkan Banau kepada Penguasa Belanda di Ternate untuk diadili. Tahanan demi tahanan yang merupakan kawan-kawan Banau diangkut dari Jailolo ke Ternate untuk diadili.
Pihak Kompeni Belanda masih terus menerus mengerahkan segala kemampuan dan peralatan perang menumpas sisa-sisa pengikut Banau di Jailolo hingga ke pedalaman agar tidak meluas ke wilayah sekitarnya. Kompeni Belanda menakut-nakuti rakyat dengan melancarkan propaganda bahwa pemimpin kalian telah kami tangkap sehingga rakyat Jailolo semakin takut untuk melakukan pembangkangan terhadap kompeni.
Banau Dihukum Mati di Tiang Gantungan.
Segera setelah penyerahan Banau ke pihak Belanda di Ternate oleh Sultan Haji Muhammad Usman Syah, Mahkamah militer Belanda bersidang untuk mengadili Banau dan kawan-kawan dengan keputusan antara lain sebagai berikut :
1. Hukuman terhadap terdakwa Banau, sebagai otak dan pemimpin pemberontakan Perang Jailolo dijatuhi hukuman mati di atas tiang gantungan.
2. Hukuman terhadap terdakwa pelaksana makar, dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun ke atas dibuang ke Nusakambangan.
3. Hukuman terhadap para terdakwa sebagai pengikut/ peserta pemberontakan yang dijatuhi hukuman kurang dari 15 tahun, dijalankan di penjara Ternate.
Setelah pemberontakan perang Jailolo ditumpas habis oleh Kompeni Belanda, terdakwa-terdakwa telah dijatuhi hukuman setimpal dengan keterlibatannya, maka yang menjadi pertanyaan disini ; Dimanakah letak apa yang disebut dengan tiang gantungan untuk mengakhiri hidup seorang Banau?
Sudah dapat dibanyangkan, betapa hebatnya siasat kompeni Belanda untuk menakut-nakuti rakyat atas hukuman mati di atas tiang gantungan, apalagi hukuman mati tersebut dilaksanakan di depan umum, bahkan seluruh rakyat diperintahkan untuk menyaksikannya. Ini dimaksudkan agar supaya nyali rakyat menjadi ciut dan pemberontakan semacam itu tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
Menurut cerita sebagian orang tua-tua bahwa lokasi ting gantungan itu ada dua versi atau dua kemungkinan, yakni :
1. Berada di Ternate, alasannya; 1) Kasus Banau disidangkan di Ternate, bukan di Jailolo. 2) Berdasarkan keputusan Mahkamah Militer Belanda, tiang gantungan dibuatkan di damping apa yang disebut ketika itu “Jembatan Residen“.
2. Berada di Jailolo, alasannya; Setelah keputusan disyahkan, serentak hukuman bagi setiap pelaku pemberontakan Perang Jailolo itu dilaksanakan. Mengingat peristiwa ini telah mengobarkan seorang Gezaaghebber Belanda yang ditugaskan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda untuk wilayah Jailolo dan sekitarnya, maka ada kemungkinan agar rakyat Jailolo dan sekitarnya secara moral ditakut-takuti atas hukman mati di atas tiang gantungan itu tidak akan terulang lagi, maka (sekali lagi) menurut cerita orang tua-tua, tiang gantungan itu dipasang di depan kantor Gezaaghebber waktu itu, tepatnya dsamping sumber air panas.
Seorang Banau telah memberi corak baru atas peristiwa yang dikenal dengan Perang Jailolo pada tahun 1914, dengan mewarnai rasa patriotisme. Perang tidak berlangsung lama, akan tetapi Banau secara jantan telah memberi pukulan maut terhadap Kompeni Belanda . Nyawa banau telah direnggut dengan paksa di tiang gantungan. Jenazahnya diambil oleh keluarganya dan dimandikan, dikafankan kemudian dikebumikan. Kini makam pusaranya berada di tengah anak cucunya, sekitar samping belakang sekolah Jailolo.
Sultan Ternate Dituduh Kompeni Sebagai Dalang Perang Jailolo.
Pasca hukuman gantung atas diri Banau, peristiwa penangkapa dan pengasingan Sultan Ternate menjadi peristiwa yang tak kalah penting ……………………….
Artikel ini belum selesai, bersambung terus…..masih dalam proses pengetikan, maklum lagi libur panjang, istirahat total dulu…
Bagian terakhir; Proses penangkapan dan pengasingan Sultan Ternate ke bandung.
Penutup; Analisa Historiografi atas kajian ini…
Catatan : Double klik pada gambar untuk melihat ukuran besar…!
Pelestarian kebesaran nama Banau oleh orang Ternate (Maluku Utara) diimbuhkan pada konotasi-konotasi yang disebutkan di atas. Tapi sesungguhnya banyak diantara kita sudah sering mendengar ceritera kepahlawanan Banau yang melegenda tersebut, namun tidak banyak dari kita yang tahu bagaimana aspek kesejarahan dari peristiwa heroik tersebut. Bagi yang peduli akan nilai-nilai perjuangan yang ditunjukan oleh Banau, pastilah bertanya ; Bagaimana? Kapan? dan Dimana? peristiwa heroik itu terjadi? Dengan sumber data yang minim, penulis berusaha untuk mendeskripsikan peristiwa tersebut dalam bentuk artikel ini, mudah-mudahan ada manfaat buat pengunjung situs ini.
Pada awal tahun awal tahun 1900-an, di dataran Eropa sedang berkecamuk Parang Dunia ke-I. Negaranegara Eropa termasuk Belanda di daerah jajahannya khususnya di Indonesia juga melakukan persiapan-persiapan ke arah tersebut. Ketika Bangsa Jepang mampu menaklukkan wilayah Uni Soviet pada tahun 1905, maka bangsa-bangsa Eropa mulai segan terhadap apa yang terjadi di wilayah timur. Mereka mulai memperhitungkan adanya kebangkitan dari bangsa-bangsa Asia untuk melawan dominasi Barat.
Perang Jailolo yang terjadi di wilayah bekas kesultanan Jailolo di pulau Halmahera Maluku Utara, yang oleh masyarakat setempat sering disebut “Perang Tuada se Tudowongi” atau dalam bahasa daerah disebut dengan “ROGU LAMO JAILOLO” mengandung nilai perjuangan dan refleksi jiwa patriotisme masyarakat Maluku Utara terhadap bentuk penindasan atas hak-hak kemanusiaan masyarakat pribumi.
Yang dimaksud dengan “Perang Jailolo atau Rogu Lamo Jalolo” adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat Maluku Utara terhadap penindasan dan penjajahan bangsa Belanda di tanah air, khususnya di wilayah Jailolo. Sedangkan peristiwan tersebut bagi bangsa Belanda pada waktu itu, merupakan suatu peristiwa tragedi yang langsung mengancam segala kegiatan kompeni Belanda di distrik Jailolo.
Latar Belakang Timbulnya Perang Jailolo
Sejak Pemerintah langsung Belanda mengambil alih wilayah bekas VOC yang bangkrut pada tahun 1799 setelah merekrut kekayaan dari bumi Indonesia (1602-1799) maka strategi baru yang dicanangkan oleh Pemerintah Belanda di seluruh daerah jajahan adalah memperketat pelaksanaan Blasting (Pajak) dan Heredienst (Kerja Paksa), untuk memasok kekurangan di dalam negeri Belanda, terutama kesulitan moneter di dalam negeri dalam menghadapi pergolakan Perang Dunia ke-I di dataran Eropa. Tinginya penetapan pajak oleh Belanda ini memicu perlawanan dimana-mana.
Di Jailolo dan sekitarnya, masyarakat dengan tingkat kemiskinan yang hampir merata, tidak mampu melaksanakan kewajiban untuk kompeni tersebut bahkan sebagian besar tidak mau memaatuhinya. Pemerintah Belanda pada waktu itu (Gezaagheber) menanggapi situasi ini dengan sikap naik pitam. Rakyat yang bermukim di sekitar teluk Jailolo termasuk Tuada dan Tudowongi membangkang aturan kompeni atas kewajiban pajak dan kerja paksa. Mereka diancam, ditangkap dan dihukum oleh petugas Belanda yang berkuasa di Distrik Jailolo dalam hal ini Ambtenaar yang melaksanakan perintah atasannya yakni Gezaagheber=Hoofd V Plaatsliyke Bestuur (Kepala Pemerintahan setempat). Dengan segala tindakan kekerasan dan ancaman dari pihak Ambtenaar menumbuhkan sikap perlawanan dari rakyat Jailolo, mereka tidak tinggal diam begitu saja. Mereka bangkit secara spontanitas dan sporadis melawan kompeni Belanda, namun masih dalam skala kelompok-kelompok kecil dan tersebar di beberapa daerah di Jailolo.
Munculah seorang pemuda berani yang berasal dari desa Tuada yang bernama “BABA” dengan kejantanan dan keberaniannya berusaha melakukan upaya konsolidasi dengan pemimpin perlawanan di tempat-tempat lain di Jailolo dan sekitarnya. Banau mulai mangatur strategi dan menghimpun kekuatan untuk melawan pihak kompeni. Dalam suatu pertemuan rahasia yang bertempat di desa Tuada, Baba kemudian dipilih oleh mereka sebagai pemimpin perlawanan. Berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain ; kemampuan dan semangat yang dimiliki dalam diri Baba maka seluruh perwakilan dari beberapa desa di Jailolo memilih Banau sebagai pemimpin mereka dan memberi dia julukan BANAU = yang berasal dari kata Baba dan Nonau (Laki-laki/perkasa).
Banau mulai mengatur strategi untuk mengganggu iring-iringan petugas kompeni Belanda yang sedang bertugas memungut Balasting dan mentukan/memilih pemuda untuk dijadikan pekerja paksa. Anak buah Banau mengusir Ambtenaar Belanda hingga lari terbirit-birit, dan kemudian kembali ke markasnya di Gufasa untuk melaporkan kejadian penghadangan tersebut kepada atasannya. Pada hari-hari selanjutnya penghadangan ini terus dilakukan oleh kawan-kawan atas perintah Banau. Tidak jarang sering terjadi kejar mengejar antara penghadang dengan petugas kompeni Belanda.
Peristiwa Berdarah Pembunuhan Tuan AGERBEEK (Pejabat Gezaaghebber Jailolo)
Pada suatu pagi pada tanggal 12 September 1914 rakyat Jailolo berkumpul di sekitar kediaman Gezaaghebber Jailolo yang bernama Agerbeek tepatnya di rumah pos kediaman Kontroler Belanda tersebut. Tujuan mereka semula hanya berkumpul untuk menyampaikan rasa protes rakyat atas sikap kompeni belanda yang tidak toleransi dalam penagihan Pajak secara paksa terhadap rakyat Jailolo. Melihat situasi yang menghawatirkan, Tuan Agerbeek memerintahkan anak buahnya untuk menghalau massa yang telah berhimpun. Mereka memerintahkan rakyat yan berkumpul untuk menyerahkan senjata tajam dan tombak yang ada di genggamannya untuk segera dikumpulkan. Massa tidak menerima ultimatum ini dan marah sehingga mulai menyerang da merusak rumah pos yang ada serta membakar salah satu gudang di sebelah rumah kediaman pengasa Belanda tesebut. Massa pada hari massa yang dipimpin oleh Banau berteriak2 dan maju menerobos rintangan hingga sampai di kediaman Gezaaghebber Jailolo (tempat ini hingga beberapa tahun yang lalu menjadi kediaman camat Jailolo). Dengan kepanikan yang sangat tinggi, karena melihat begitu banyak massa yang sudah sejak pagi mengepung kediamannya, Gezaaghebber Jailolo menyembunyikan diri di atas loteng rumah kediamannya. Sementara di luar terdengar suara hiruk-piruk mengangkasa dari rakyat Jailolo yang yang sedang marah dan mengamuk. Masing-masing yang datang membawa serta parang, salawaku dan tombak terhunus seakan tidak sabar lagi mencari mangsa dan sasarannya. Sebagian dari mereka sudah menduduki halaman dan teras rumah kediaman Gezaaghebber Agerbheek. Banau berada di barisan terdepan dan memerintahkan beberapa anak buahnya menendang pintu kediaman dan menerobos masuk kedalam rumah, namun yang dicari tidak ditemukan. Melihat situasi ini, Banau dengan beberapa orang tersebut mengambil beberapa bilah tombak (sagu-sagu) sambil menusuk-nusuk ke atas loteng, ada beberapa anak buah Banau yang langsung naik ke atas rumah karena mereka mengetahui Gezaaghebber Agerbeek sedang bersembunyi di situ.
Keadaan sedemikian rupa, karena kesabaran rakyat Jailolo sudah tidak dapat dibendung lagi. Gezaaghebber Agerbeek dengan nekad hendak melompat dari loteng rumahnya ke tanah. Banau dengan parang terhunus telah siap menanti dari bawah. Saat Gezaaghebber Agerbeek mau akan melompat, dan bersamaan dengan itu suara pekik dan teriakan yang keluar dari mulut Banau adalah “Safa…Una” (sembelih… dia). Pedang pun terhunus ke dada Gezaagheber hingga tembus ke belakang kemudian dicincang lalu roboh ke tanah dan bersimbah darah.
Sebuah peristiwa yang belum pernah terjadi di bumi Maluku Utara sebelumnya, seorang pemimpin Belanda yang sangat ditakuti untuk wilayah sebuah distrik (Jailolo) terbunuh ketika itu juga. Ia kemudian dikuburkan disamping kantor/kediamannya tersebut. Sedangkan Ambtenaar Belanda yang lainnya lari terbirit-birit untuk menyelematkan dirinya dengan perahu ke Ternate pada malam hari itu juga untuk melaporkan kejadian berdarah tersebut kepada penguasa Belanda di Ternate dalam hal ini Asisten Residen dan Penguasa Militer yang disebut Kaptein Kota. Penguasa di Ternate memerintahkan untuk segera mempersiapkan bala bantuan militer agar segera dikirim ke Jailolo untuk memulihkan situasi.
Pada tanggal 14 September 1914, dua hari setelah peristiwa, bala bantuan kompeni Belanda tiba di Jailolo dari Ternate dengan menggunakan kapal perang S.S Van Overstraten yang berlabuh di perairan teluk Jailolo, Pasukan yang dipimpin oleh Letnan Ouweriling. Karena tidak bisa merapat ke pelabuhan Jailolo, pasukan digiring untuk mendarat dengan menggunakan sekoci-sekoci kecil. Namun dari pihak Banau dan kawan-kawan tidak sedikitpun gentar menghadapi situasi ini. Mereka dengan senjata sederhana menghadang dan terjadi pertumpahan darah di sekitar pelabuhan Jailolo, senjata api pun banyak berpindah tangan ke anak buah Banau, banyak korban berguguran di kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Letnan Ouweriling tewas menemui ajalnya di medan laga, sedangkan salah satu anak buah terbaiknya yang bernama Sersan Wort juga terluka parah dan kemudian dievakuasi ke Ternate. Perlengkapan perang, tambahan personil bala bantuan dan logistik terus dikirim ke Jailolo. Melihat situasi tidak memungkinkan, Banau menyingkir ke pedalaman dan melakukan satrategi “Gorela” atau dikenal dengan gerilya. Perang Jailolo tidak berlangsung lama, namun Belanda kewalahan dan tidak mampu menangkap dan menghadapi Banau dan anak buahnya yang menggnakan strategi taktis gorela-nya.
Upaya Penumpasan Pemberontakan Banau oleh Kompeni Belanda.
Pada saat-saat yang sangat genting dan rumit bagi pihak Belanda, yang mana di negerinya di dataran Eropa sana sedang berkecamuk Perang Dunia ke-I, sedangkan di dalah satu negeri di timur sini di Maluku Utara tepatnya di Jailolo sedang bergerilyanya banau dan kawan-kawan karena menuntut hak, martabat dan harga diri untuk bebas dan merdeka atas sejengkal tanah pusaka leluhurnya.
Pihak kompeni Belanda menyebarkan mata-mata dan kaki-tangannya ke pedalaman Jailolo, Susupu dan Sahu dan sekitarnya bahkan hingga sampai ke daerah Tobaru dan Ibu di selatan untuk melacak keberadaan Banau dan kawan-kawan serta perintah menangkap hidup-hidup atas diri Banau. Namun Banau telah menghilang tanpa jejak, namun masih tetap berada di sekitar hutan belantara Jailolo, ia tidak akan meninggalkan kampung halaman dan menghianati tanah leluhurnya. Kemana menghilangnya Banau? semua rakyat Jailolo bungkam seribu bahasa bila kompeni Belanda menanyakannya. Sebagian kawan-kawan Banau telah terperangkap oleh strategi kompeni Belanda dan akhirnya ditangkap, namun jejak Banau tidak pernah bisa dilacak oleh Belanda. Penguasa Belanda kewalahan menghadapi taktis strategi Banau yang menghilang puluhan hari lamanya namun yang membuat kompeni geram adalah Banau ternyata masih bisa memberikan komando jarak jauh dari tempat persembunyiannya. Banau dan beberapa orang pengikutnya masih bersembunyi di pegunungan Jailolo dan sedang dalam perjalanan menyusuri hutan belantara pegunungan Jailolo menuju ke desa Saria agar bisa menyeberangi laut menuju ke Ternate untuk menghadap Yang Mulia Sultan Ternate yang ia junjung, yaitu (Sultan Haji Muhammad Usman Syah) untuk menyerahkan diri. Banau sering berkata pada kawan-kawannya; “Lebih baik saya menyerahkan diri kepada Jou Kolano Kie se Gam toma Kadato dari pada saya menyerahkan diri kepada Kaso Bubudo Walanda“.
Banau Menyerahkan Diri
Pada suatu malam yang gelap gulita, Banau bersama dua orang pengikutnya dengan menggunakan perahu dari desa Saria Jailolo mendarat di batu angus Ternate dan dengan mengendap-ngendap terus menyusuri bebatuan untuk menghindari pantauan mata-mata kompeni Belanda yang sedang memburunya. Ia kemudian menyusuri hutan sekitar batu angus menuju Raki Kolano terus ke Buku Konora melewati hutan belantara pegunungan Ternate kemudian turun dari gunung menuju ke pendopo Keraton Sultan Ternate guna menghubungi pihak Bobato dalam hal ini Sowohi agar melapor kepada Sultan bahwa Banau telah tiba dari Jailolo untuk menyerahkan diri kepada Sultan Ternate. Setelah Sowohi melaporkan kepada Sultan atas permohonan penyarahan diri Banau tersebut, Sultan kemudian memberikan titah (istilah bahasa Ternate : Jou Nga Idin Uci) agar sang pemimpin pemberontakan di Jailolo segera dihadapkan kepada Sultan malam itu juga.
Pagi besok harinya seluruh seisi Istana Sultan Ternate gempar dengan kehadiran dan penyerahan diri Banau. Berita ini akhirnya sampai ke telinga penguasa Belanda di Ternate. Pihak penguasa Belanda amat marah atas penyerahan Banau kepada Sultan Ternate, bukan menyerahkan diri kepada Kompeni Belanda di Jailolo atau di Ternate. Mendengar hal tersebut kawan-kawan Banau d Jailolo yang sedang dalam tahan dihajar habis-habisan oleh Kompeni Belanda karena merahasiakan rencana penyerahan diri tersebut.
Dengan penyerahan diri Banau tersebut, tabir kecurigaan kompeni Belanda mulai terkuak. Pihak kompeni Belandaselama ini berkesimpulan bahwa Peristiwa Pemberontakan Jailolo yang dipimpin Banau didalangi oleh Sultan Ternate. Setelah menerima penyerahan diri Banau, Sultan Haji Muhammad Usman Syah telah memperhitungkan secara matang akibat yang akan dihadapinya pasca penyerahan diri Banau tersebut. Sultan langsung menyerahkan Banau kepada Penguasa Belanda di Ternate untuk diadili. Tahanan demi tahanan yang merupakan kawan-kawan Banau diangkut dari Jailolo ke Ternate untuk diadili.
Pihak Kompeni Belanda masih terus menerus mengerahkan segala kemampuan dan peralatan perang menumpas sisa-sisa pengikut Banau di Jailolo hingga ke pedalaman agar tidak meluas ke wilayah sekitarnya. Kompeni Belanda menakut-nakuti rakyat dengan melancarkan propaganda bahwa pemimpin kalian telah kami tangkap sehingga rakyat Jailolo semakin takut untuk melakukan pembangkangan terhadap kompeni.
Banau Dihukum Mati di Tiang Gantungan.
Segera setelah penyerahan Banau ke pihak Belanda di Ternate oleh Sultan Haji Muhammad Usman Syah, Mahkamah militer Belanda bersidang untuk mengadili Banau dan kawan-kawan dengan keputusan antara lain sebagai berikut :
1. Hukuman terhadap terdakwa Banau, sebagai otak dan pemimpin pemberontakan Perang Jailolo dijatuhi hukuman mati di atas tiang gantungan.
2. Hukuman terhadap terdakwa pelaksana makar, dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun ke atas dibuang ke Nusakambangan.
3. Hukuman terhadap para terdakwa sebagai pengikut/ peserta pemberontakan yang dijatuhi hukuman kurang dari 15 tahun, dijalankan di penjara Ternate.
Setelah pemberontakan perang Jailolo ditumpas habis oleh Kompeni Belanda, terdakwa-terdakwa telah dijatuhi hukuman setimpal dengan keterlibatannya, maka yang menjadi pertanyaan disini ; Dimanakah letak apa yang disebut dengan tiang gantungan untuk mengakhiri hidup seorang Banau?
Sudah dapat dibanyangkan, betapa hebatnya siasat kompeni Belanda untuk menakut-nakuti rakyat atas hukuman mati di atas tiang gantungan, apalagi hukuman mati tersebut dilaksanakan di depan umum, bahkan seluruh rakyat diperintahkan untuk menyaksikannya. Ini dimaksudkan agar supaya nyali rakyat menjadi ciut dan pemberontakan semacam itu tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
Menurut cerita sebagian orang tua-tua bahwa lokasi ting gantungan itu ada dua versi atau dua kemungkinan, yakni :
1. Berada di Ternate, alasannya; 1) Kasus Banau disidangkan di Ternate, bukan di Jailolo. 2) Berdasarkan keputusan Mahkamah Militer Belanda, tiang gantungan dibuatkan di damping apa yang disebut ketika itu “Jembatan Residen“.
2. Berada di Jailolo, alasannya; Setelah keputusan disyahkan, serentak hukuman bagi setiap pelaku pemberontakan Perang Jailolo itu dilaksanakan. Mengingat peristiwa ini telah mengobarkan seorang Gezaaghebber Belanda yang ditugaskan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda untuk wilayah Jailolo dan sekitarnya, maka ada kemungkinan agar rakyat Jailolo dan sekitarnya secara moral ditakut-takuti atas hukman mati di atas tiang gantungan itu tidak akan terulang lagi, maka (sekali lagi) menurut cerita orang tua-tua, tiang gantungan itu dipasang di depan kantor Gezaaghebber waktu itu, tepatnya dsamping sumber air panas.
Seorang Banau telah memberi corak baru atas peristiwa yang dikenal dengan Perang Jailolo pada tahun 1914, dengan mewarnai rasa patriotisme. Perang tidak berlangsung lama, akan tetapi Banau secara jantan telah memberi pukulan maut terhadap Kompeni Belanda . Nyawa banau telah direnggut dengan paksa di tiang gantungan. Jenazahnya diambil oleh keluarganya dan dimandikan, dikafankan kemudian dikebumikan. Kini makam pusaranya berada di tengah anak cucunya, sekitar samping belakang sekolah Jailolo.
Sultan Ternate Dituduh Kompeni Sebagai Dalang Perang Jailolo.
Pasca hukuman gantung atas diri Banau, peristiwa penangkapa dan pengasingan Sultan Ternate menjadi peristiwa yang tak kalah penting ……………………….
Artikel ini belum selesai, bersambung terus…..masih dalam proses pengetikan, maklum lagi libur panjang, istirahat total dulu…
Bagian terakhir; Proses penangkapan dan pengasingan Sultan Ternate ke bandung.
Penutup; Analisa Historiografi atas kajian ini…
Catatan : Double klik pada gambar untuk melihat ukuran besar…!
0 komentar:
Posting Komentar