Hak Asasi Manusia (HAM) berlaku secara universal, hal ini berarti HAM meliputi setiap orang tanpa terkecuali, baik orang tua, dewasa, remaja sampai pada anak-anak sekalipun. Namun masih saja banyak orang yang mengabaikan HAM tersebut khususnya terhadap anak-anak yang sering dianggap tidak tahu, tidak punya dan tidak bisa apa-apa. Namun perlu diketahui semua orang bahwa anak-anak pun memiliki hak-haknya. Hak anak merupakan hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalamkandungan, sesuai dengan UU Ri No.39tahun 1999 mengenai HAM pasal 52 bagian sepuluh (hak anak). Contoh hak anak adalah hak untuk bermain, hak untuk disayangi, hak untuk dilindungi, hak untuk mendapat pendidikan dan hak atas perlindungan hukum.
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari anak-anak sering dimanfaatkan untuk mencari uang atau bekerja oleh orang tuanya dengan cara paksa atau cara tertentu yang akhirnya menyebabkan anak tersebut bekerja sebelum waktunya, sehingga hak anak untuk bermain dan belajar tidak didapatkan. Contoh eksploitasi anak yang kemudian terjadi di kota Tenate bisa kita lihat dari beberapa contoh kasus yang saya temui dibawah ini.
Anti, nama bocah perempuan terlihat duduk di kursi mungil sambil membaca buku dan sesekali berteriak menjajakan dagangannya. Bocah tersebut berjualan manisan mangga dan selalu mengharap rezeki pada setiap orang yang membeli dagangannya. Bocah tiga belas tahun tersebut mengaku berjualan demi mengais rezeki membantu beban ekonomi keluarganya. Ia berjualan bersama Wau dan Ila, kedua adiknya, dan Ramadan,sepupunya. Wau, Ila dan Ramadan setiap hari berjalan kaki menyusuri jalanan dari kawasan Swering, Taman Nukila dan belakang mall membawa keranjang berisi manisan untuk berdagang. Sedangkan Anti siaga di kawasan belakang mall.
“Dari rumah jam 5 sore bajual sampe laku, biasa jam 3 malam baru pulang” katanya kepada saya. Anti mengaku mendapat bagian stay berjualan disini karena tidak mampu berjalan kaki seperti ketiga saudaranya dengan alasan sering sesak nafas.
Dengan polos Anti mengatakan bahwa uang hasil jualan mereka semuanya diserahkan kepada kedua orang tuanya dan disisihkan sedikit dibuat jajan. Ketika ditanya pekerjaan orang tuanya, ia menjawab bahwa Ibunya hanya membuat manisan kemudian mereka yang menjualnya.
Anti sendiri sudah putus sekolah sejak kelas 1 smp ketika ia bersama adiknya Wau, datang ke Ternate tahun lalu mengejar ibunya, tapi dia dijanjikan akan masuk sekolah lagi pada tahun ajaran baru ini. Awalnya mereka berdua bersekolah di Desa Fala, Sanana dan tinggal bersama ayah kandung mereka. Sedangkan ibu mereka juga sudah menikah lagi. Keduanya bercerai lantaran masalah keluarga. Jadi sekarang mereka tinggal bersama Ibu kandung dan ayah tiri mereka.
Penghasilan dari dagangan mereka biasanya mencapai 150 ribu rupiah per hari, ini sudah cukup untuk menambah kebutuhan keluarga. Namun disela-sela obrolan kami, Anti berkeluh karena mereka kerap dimarahi jikalau dagangan mereka tak terjual habis. Bahkan kadangkala sampai dipukuli jika mereka ketahuan istirahat dan bermain-main ketika disuruh berjualan oleh kedua orang tuanya. Ayah dan ibunya melarang mereka bermain-main ketika berjualan.
Di lain tempat, di sekitaran warung-warung makan belakang mall ternate, pemandangan yang tak terlalu berbeda. Pengamen anak, dengan botol kecil berisi beras, berfungsi sebagai alat musik sambil bernyanyi, mereka beraksi menghibur para pengunjung warung makan yang ada.
Aksi anak-anak ini juga tidak lepas dari masalah ekonomi. Jalanan dijadikan untuk memulung rezeki dengan cara menggoyang belas kasihan orang. “yah, torang mengamen cari doi jajan beli baju baru dan juga bantu beli beras dirumah” ujar Jisman, pengamen anak yang saya temui ketika asik melihat-lihat buku di perpustakaan jalanan Literasi Jalanan.
Jisman, bocah sebelas tahun ini datang mengamen bersama adiknya En yang masih berumur sekitar enam tahun. Dia mengaku belum pernah mencicipi bangku sekolah dan sejak kecil sudah dijalanan menjaga parkiran dan mengamen.
Sama halnya dengan Jisman, Endang. Bocah kelas 5 SD asal lombok ini pun bersama kedua saudaranya Andri dan Opi keluar dari rumah sekitar jam 6 untuk mengamen di kawasan belakang mall hingga jam 1 malam dan kadang sampai pagi jikalau libur sekolah. Ketiganya mengaku mengamen untuk mencari uang dan biasanya membawa pulang sampai seratus ribu rupiah, setelah dibuka jajan, sisanya diserahkan kepada ibunya untuk ditabung. Ibunya bekerja sebagai seorang pemulung, sedangkan bapak seorang tukang ojek.
Kondisi anak-anak diatas ini masuk dalam ranah eksploitasi anak dan dikategorikan dalam ranah kekerasan terhadap anak. Kekerasan pada anak adalah bentuk perlakuan menyakitkan, dapat secara fisik, emosional, penyalahgunaan seksual, pelalaian, eksploitasi komersial atau eksploitasi yang lain, yang mengakibatkan kerugian yang nyata terhadap kesehatan, kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan martabat anak dan dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Beberapa faktor yang disinyalir menjadi penyebab eksploitasi anak antara lain sebagai berikut. (1) Faktor ekonomi keluarga. Anak-anak dari keluarga miskin pada umumnya ikut membantu orang tua mereka mencari uang demi kelangsungan hidup. (2) Anak-anak tidak banyak protes, anak-anak yang disuruh orang tuanya bekerja tidak akan protes kepada orang tuanya lantaran patuh sehingga menyampingkan diri sendiri.
Situasi kehidupan anak sebagaimana tergambar di atas terasa jauh sekali dengan apa yang sudah dijaminkan dalam konstitusi negara ini dan bertentangan dengan hak asasi manusia, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara (pasal 27 ayat 2) dan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (pasal 31 ayat 1).
Namun pada kenyataannya mengisahkan lain. Bagaimana tidak, ratusan anak menjadi korban kekerasan dalam keluarga saat ini. tentu peran dan fungsi ekstra dari pemerintah sangat dibutuhkan dalam hal ini. * (afp)
Cari Blog Ini
Translate
Jumat, 10 Juli 2015
Kekerasan Terhadap Anak adalah Pelanggaran HAM (catatan anak jalanan kota Ternate)
Langganan:
Postingan (Atom)